Sabtu, 28 April 2012

JKT48 Novel Fan Fiction Part 6 (Season 1)

Fan Fiction ini adalah lanjutan dari JKT48 Novel Part 1, part 2, part 3, part 4, dan part 5. JKT48 Novel Fan Fiction diterbitkan di JKT48 Fanblog atas kerjasama dengan fanpage JKT48 NOVEL, karya teman kita Chikafusa Chikanatsu. Follow juga JKT48 Novel di Twitter

JKT48

Tiga jam lamanya Ve menunggu saat yang tepat. Akhirnya pikiran yang membuatnya tidak tenang kini ia keluarkan juga. Di kantin sekolah saat jam istirahat mereka sedang bersama. Di sebelah sudah ada Melody yang setia menemani. Apapun respon yang bakal ia terima pasti ia akan bersikap tegar. Tepat didepan pandangan Ve sudah ada Stella yang siap menantikan apa yang akan diucapkan Oleh Ve. Sekali lagi Ve melirik kagum di wajah Stella bila mengingat keahliannya itu. Stella adalah orang yang sangat berbakat. Akankah dia akan membantuku?

    ''Senang sekali rasanya kita bisa kumpul kayak gini.'' ucap gembira Stella.

Ve menatap menu, tapi sebetulnya tidak melihatnya, ia mencoba mengumpulkan sebuah kalimat yang benar benar akan diucapkannya. Sedangkan disebelahnya, Melo hanya berdiam diri tidak melakukan apa apa. Niatnya ia hanya ingin menemani Ve. Tetapi, kok sepertinya aku malah menjadi di posisi yang serba salah, pikir nya.

   ''Kamu mau makan apa?'' tanya Ve.
   ''Aku sebetulnya gak lapar. Bersama dengan kalian aja itu sudah cukup membuatku senang. Kalau kamu ingin pesan makanan, silahkan. jangan hiraukan aku.'' sahut Stella.
   ''Kamu harus makan. Aku gak bisa makan kalau ada orang yang memperhatikanku. Setidaknya, kamu beli snack atau minuman. Oke?''
   ''Ya. Oke. Setidaknya aku harus menghargai kantin ini. Hehe.'' senyum Stella.

Senang rasanya saat Ve melihat Stella yang murah senyum seperti itu. Ia juga orang yang ramah. Apa mungkin ini akan menjadi awal yang baik bagiku berteman dengannya?

   ''Kalau begitu, biar aku yang pesan makanan saja. Kalian mau makan apa?''
   ''Hmm, aku pesan bakso mie saja, Mel. Kalau kamu, stella?''
   ''Aku pesan siomay aja deh.''
   ''Oke, tunggu, ya. Kalian mengobrol saja dulu. Semangat, Ve.'' sindir Melo dengan nada pelan.

Dipandanginya Stella yang sedang melihat lihat suasana kantin. Dalam hati Ve bertanya tanya sendiri. Apakah aku harus melakukannya sekarang? Kami baru saja berteman. Rasanya tidak sopan jika langsung meminta sesuatu yang tidak ada untungnya bagi dia. Ve membuat keputusan dan berusaha membuat suaranya sebisa mungkin.
   ''Ngomong ngomong sudah berapa lama kamu menekuni seni tari? Aku sangat kagum saat itu.''

Stella sempat terdiam sementara. Dan ia berkata. ''Aku gak menyangka bakal ada orang yang menanyakan hal itu. Jujur saja, baru kali ini ada teman yang tertarik dengan latar belakangku. Aku udah lama menekuninya, sejak aku kelas tiga SD. Saat itu, sedang ada perlombaan antar kelas, dan semua teman teman ku mempercayai ku. Terpaksa aku menerima latihan untuk menyambutnya. Setelah di pikir pikir, kok aku merasa senang melakukannya. Nah, sejak saat itulah aku mulai menekuninya. Hampir setiap hari sepulang sekolah aku melakukannya. Dan aku merasa senang sampai sekarang.''

Sungguh, jawaban Stella membuat Ve putus asa. Selama itu kah? Apakah aku mampu?

   ''oh, Begitu...'' singkat Ve.
Ve melanjutkan kalimatnya dalam hati. ''Kenapa jadi seperti ini? Mana semangatku yang semula? Benar, aku gak boleh berhenti sampai disini. Aku harus mencobanya. Aku siap menerima jawaban apapun darinya.''

Ve menarik nafas dalam dalam. Ia mulai melanjutkan perkataannya.
   ''oya, aku dengar, kamu berencana mengikuti audisi sister group AKB48, ya?''
   ''Wah, bagaimana kamu bisa tau? Atau jangan jangan, kamu ikut mendaftar juga, ya? Asik, donk. Aku sangat antusias mengikutinya.''
Ve senyam senyum ga karuan. Mungkin pikirnya aku ini sangat mahir dalam hal itu. Tapi kenyataannya...
Ve menjadi tambah malu untuk mengucapkannya.

   ''Sebenarnya, aku gak jago jago banget dalam hal itu, stell. Tapi, aku malah ingin melakukannya. Sudah ada ratusan orang yang mendaftar sampai saat ini, bukankah itu konyol untukku bersaing dalam orang orang itu.''
   ''Eh, kata siapa. Semua orang berhak mengikutinya. Kamu harus semangat Jika kamu ingin sekali lolos dalam audisi itu.''

Jawaban Stella terlalu singkat. Belum bisa membuat perasaan Ve tenang. Ve sudah berkata sejauh itu, mau gak mau ia harus melanjutkan kata kata yang masih terpendam di hatinya.

   ''Apa boleh aku meminta bantuan dari mu?'' ucap ragu Ve.
   ''Bantuan apa?''
   ''hmm, latihlah aku!'' teriak Ve tiba tiba.

Stella terdiam. Butuh waktu untuk mencerna perkataan Ve itu. Melihat wajah Ve yang begitu penuh pengharapan, stella menjadi berfikir dua kali.

   ''Aku sih gak keberatan. Tetapi, aku mau kamu jangan setengah setengah melakukannya. Jika kamu mau melakukannya, lakukanlah sampai akhir. Hanya itu saja yang aku pinta.''

What! Sungguh, jawaban Stella membuat Ve sangat gembira. Tidak disangka sangka, setidaknya ia mau memberikan harapan padaku. Aku pasti tidak akan menyia nyiakan kesempatan ini.

   ''Aku akan berusaha. Makasih banyak, stell.'' senyum Ve.
   ''Itu bukan hal yang besar, Ve. Justru aku senang bahwa akan ada teman yang satu tujuan denganku. Masalah diterima akan audisi atau tidak, itu gak terlalu masalah buatku.''

Ve semakin senang saja dengan tanggapan Stella itu.

Tidak lama kemudian, Melody kembali dengan pesanan yang ia bawa di tangannya.
   ''Wah, makasih ya, Mel.'' senyum stella.
   ''Iya. Ayo dimakan.''

   Sungguh mengherankan betapa Ve bisa berubah ekspresi dalam beberapa menit saja. Ia senyam senyum sendirian. Melody mengira ngira, pasti harapannya dikabulkan oleh Stella. Namun, melo hanya menutup mulutnya. Toh lagipula Melo tidak begitu tertarik dengan percakapan mereka. Disitu peran dia hanya untuk menemani Ve saja.

   ''Mel, jangan lupa ya nanti kita latihan bersama sama.'' ujar Stella tiba tiba.
Melody yang saat itu sedang mengunyah makanannya menjadi tersedak, ia kaget serta bingung.
   ''Maksud kamu apa?''
   ''Emangnya Melo gak ikut, ya? Aku kira kalian...''
   ''Oh, tentu saja!'' potong Ve.
   ''Iya, kan Mel?'' tambah Ve sambil mengedipkan matanya.
Melo yang tidak tau apa apa, tentu akan melempar wajah bertanya tanya pada Ve.
   ''Udah, kamu jawab iya aja.'' bisiknya dengan mencolek colek pinggang Melo.
   ''Oh, i-iya. Iya.'' sahutnya sambil terbata bata.
Ve hanya cengar cengir disebelahnya.
   ''Bagus itu! Dengan begitu kita bisa melakukannya bersama sama. Aku udah lama sekali menginginkan hal seperti ini. Senangnya.'' jawab Stella.
Melody hanya bisa manggut manggut. Ia sudah seperti orang yang tersesat, sama sekali tidak tau apa yang mereka bicarakan.


***

   Di kelas mereka sedang dilangsungkannya sebuah kuis murid teladan. Biasanya kuis ini selalu dilaksanakan setiap sebulan sekali. Diantara tiga puluh dua murid di kelas, hanya diambil tiga murid teratas saja untuk bersaing mengikuti kuis tersebut. Mereka adalah, Cindy, Beby dan juga Delima. Sudah hampir dua bulan berturut turut Beby menjadi murid teladan di kelasnya. Saingan terberat Beby ada pada teman dekatnya sendiri, yaitu Cindy. Bangku kelas dibuat menjadi tiga barisan dengan masing masing pemimpin tiga orang tersebut dan juga para pengikutnya yang berjumlah rata rata sepuluh orang.

Suasana sangat tegang. Didepan wali kelasnya siap memberikan sebuah pertanyaan. Siapa yang cepat maka ia akan mendapatkan nilai poin sepuluh.

   ''Semuanya, perhatikan! Setiap pengikut dari masing masing pemimpin boleh membantu pemimpin kalian dalam menjawab soal'' seru wali kelas.

   ''Iya, Bu.'' sorak semua siswa.
   ''Perhatikan dengan baik pertanyaan yang akan Ibu berikan. Ini soal matematika bentuk fungsi.''
Kemudian wali kelasnya menuliskan pertanyaannya di papan tulis.
   ''f(x) = x2 + ax = b, diketahui f(-2) = f(1) = 5. Coba tuliskan bentuk Fungsinya. Yang bisa menjawab cepat angkat tangan.''

Beby menyergap duluan, ia mengangkat tangan lebih dulu.
   ''Silahkan Beby, maju kedepan.''

Dengan rasa percaya dirinya ia menuliskan jawabanya di papan tulis.
   ''Dari persamaan diatas diperoleh a = 1 dan b = 3, jadi bentuk fungsinya adalah seperti ini.
f(x) = x2 ax b, dengan a =1, dan b =3
f(x) = x2 x 3.''
Semua Beby tulis dengan cepat. Seperti ada sebuah buku rangkuman di otaknya itu. Luar biasa! Wali kelasnya bertepuk tangan. Diikuti dengan teman teman satu kelompoknya. Sedangkan lawan mainnya, hanya bisa menyorakinnya. Beby kembali ke tempat duduknya. Ia berhasil mendapatkan sepuluh poin. Kalau dikasih soal matematika, Beby lah jagonya.

   ''Lanjut ke pertanyaan selanjutnya. Pendidikan kewarganegaraan. Apa yang dimaksud konstitusi atau undang undang dasar.''

Cindy dan delima mengangkat tangan bersamaan. Kemudian wali kelasnya menyuruhnya suit. Apes, cindy kalah dalam adu suit dengan delima.
   ''Apa jawabanmu delima?'' tanya guru.
   ''Konstitusi atau undang undang dasar adalah seperangkat aturan dasar negara mempunyai fungsi Yang sangat penting dalam suatu negara.'' jawab singkat Delima.
   ''Hanya itu saja?'' tanya guru.
Delima menggangguk.
   ''Baik, jawabanmu benar. Tapi Masih kurang sempurna. Karena tadi Cindy mengangkat tangan berbarengan, jadi Ibu silahkan untuk Cindy menambahkannya. Jika benar, kamu berdua akan mendapatkan poin sepuluh.''
   ''Penyelenggaraan pemerintahan negara harus didasarkan pada konstitusi. Maka undang undang dasar mempunyai kedudukan tinggi dalam peraturan perundang undangan di Indonesia.'' jawab Cindy.
   ''Benar, nilai kalian bertiga saat ini menjadi seimbang.''
Semua murid antar kelompok saling sorak.
Beby kesal, ia paling benci dengan yang namanya kekalahan.

   ''Ah, aku juga tau jawaban tadi. Hanya saja aku kalah cepat dalam mengangkat tangan.'' gerutu dalam hati Beby.

   ''Lanjut ke pertanyaan yang ketiga. Ubah kalimat dibawah ini dari affirmative ke negative.
The nurse had to work in the recovery room.''
Lagi lagi Beby kecolongan. Cindy sudah mengangkat tangan lebih dulu.
   ''The nurse didn't have to work in the recovery room.''
   ''Sepuluh poin untuk Cindy.''

Cindy senyam senyum. Ia poinnya lebih unggul dari lainnya. Sedangkan Beby hanya bisa cemberut disebelahnya.


   Kediaman Jeje lepas tengah hari. Terlihat begitu banyak para pelanggan yang sudah mengantri untuk mendapatkan semangkok bubur. Kedua orang tuanya terlihat begitu sibuk melayani para pelanggan. Begitu pun dengan Jeje. Ia mondar mandir menuju meja pelanggan untuk mengantarkan bubur. Orang orang terus berdatangan, sehingga nyaris tidak ada ruang lenggang. Rasa bubur yang enak di padukan dengan harga yang murah membuat siapa saja ketagihan untuk menyantapnya.

   ''Seperti biasa, pak?'' tanya Ayah dengan senyum tipisnya itu.
   ''Iya. Restoran bapak sungguh beruntung. Bapak punya istri yang patuh dan juga putri yang sangat cantik.'' kagum bapak itu.
   ''Bapak bisa aja.''
   ''Bapak juga melayani para pelanggan dengan sangat ramah. Pantas saja pelanggannya bisa sebanyak ini.'' tambahnya.
Ayah menjadi grogi mendengarnya. Iya hanya senyam senyum. Disisi lain ayah sangat senang, ternyata pelanggannya begitu betah dan puas atas nya.

Tepat didepan pintu masuk restoran, Shania sudah menunggu Jeje. Entah dengan tujuan apa dia menemui Jeje. Jeje menoleh dan memandang shania dari kejauhan. Mau diladeni, tetapi Jeje masih sangat sibuk. Apalagi kalau ayahnya melihat juga pasti tidak akan senang. Ayahnya selalu berkata, utamakan para pelanggan. Mau tidak mau Jeje mengacuhkan Shania dan tetap bekerja.

   ''Jeje, apa yang didepan itu temanmu? Suruh dia masuk.'' kata Ayah.
   ''T-ta tapi...'' bimbang Jeje.
   ''Sudah temuilah dia. Gak baik membuat teman kecewa. Bisa saja dia datang dari jauh. Biar Ibu saja yang mengantarkan bubur bubur ini.'' ujar Ayah.
Jeje menggangguk. ''ya.''

Jeje segera menaruh nampan yang ia pegang ke atas meja. Ia mengayunkan kakinya berjalan menghampiri Shania. Shania tersenyum senang saat Jeje mau menghampirinya.

   ''Hai!''
   ''Ada apa kamu kesini?'' tanya Jeje.
   ''Apanya yang ada apa? Tentu aku kemari mau menyeretmu ke tempat latihan.''
   ''Ternyata kamu belum menyerah juga, ya. Aku kan sudah pernah bilang, bahwa aku gak begitu tertarik dengan audisi itu.'' ujar Jeje seraya berjalan ke luar.
   ''Eh, kamu mau kemana?''
   ''Kita bicara diluar.''

Saat mereka sudah berada diluar, Jeje melihat Sonya serta Cleo yang berdiri tepat tidak jauh dari depan restoran. Diangkatnya mata Jeje memandang ke langit. Ia sudah tidak sanggup lagi menjelaskannya. Jeje mengeluh dalam hati, kenapa mereka keras kepala sekali. Tiba tiba saja, Sonya serta Shania tersenyum jahil. Ia berdua menghampiri Jeje dengan memegang tangan Jeje dengan paksa. Setelah itu, mereka menyeretnya berjalan menuntun menuju Mobil Cleo.

Jeje kesal. ''Kalian kenapa, sih?''
   ''Ini merupakan kesempatan yang sangat besar. Aku tahu betul kamu sangat menginginkannya. Apa salahnya sesekali orang tuamu itu ngertiin kamu. Toh selama ini juga kamu selalu ngertiin mereka. Siapa sih orang tua yang tega menghentikan anaknya untuk meraih mimpinya.'' ucap Sonya seraya menuntun Jeje.
Cleo yang berada dibelakang wajahnya penuh tanya. Apa ini rencana yang akan mereka pakai? Mungkin maksudnya adalah Sonya serta Shania. Sebelumnya, mereka berdua pernah memastikan Cleo, bahwa mereka akan membawa Jeje untuk hadir ke tempat latihan. Tapi bukan begini caranya, pikir nya.

   ''Hentikan!'' teriak kesal Jeje.
Jeje berontak, ia berusaha melepaskan genggaman tangan Sonya serta Shania itu. Ia tidak percaya bahwa teman temannya bersikap seenaknya saja pada dirinya. Wajahnya sungguh mendung, ia begitu kesal. Jeje menangis, ia begitu kecewa terhadap sahabatnya sendiri.

   ''Apa benar kalian teman ku? Kita bukan anak kecil lagi. Kenapa kalian begitu keras kepala. Ya, memang benar aku sangat menginginkan Audisi itu. Apa kalian puas? Tapi cara kalian itu yang aku gak suka. Setiap malam aku selalu memikirkannya, tidak, setiap jam nya aku selalu memikirkannya. Aku bingung harus berkata apa pada orang tuaku.'' ucap Jeje dengan berlinangan air mata.
   ''Yah, dia malah marah.'' bisik sonya pada Shania.

Melihat kekacauan itu, Cleo segera mendekati Jeje. Ia memegang pundak Jeje dengan lembut.
   ''Jangan nangis, ya. Aku juga gak nyangka akan jadi begini. Mereka semua masih tetap sahabatmu, kok. Mereka hanya ingin membantu mu mengejar mimpimu itu, ya walau caranya memang salah. Aku sangat mengerti posisi kamu saat ini.''
   ''Jeje, maaf kalau kami membuatmu jadi kesal. Tetapi, bukankah kamu pernah bilang padaku bahwa suatu saat nanti kamu akan menjadi dancer yang dikagumi banyak orang? Mana semangatmu yang waktu itu?'' tegas Shania.
   ''Sudah, sudah. Kenapa kamu malah manas manasin dia.'' bisik Sonya.

Shania merasa kesal, tujuannya membawa Jeje ke dunia hiburan besamanya telah gagal. Ia langsung mengakhiri percakapannya dan berjalan menuju mobil Cleo.

   ''Sudah, tak apa. Aku tau niat mu untuk bisa ikut dalam audisi begitu besar. Aku akan memutuskannya, jika kamu berubah pikiran hubungilah aku. Saat ini, pelatih pasti akan menyingkirkan kami. Tapi jika memang seperti itu, aku bisa mencari lain tempat untuk bisa kita bersama sama latihan. Shania merupakan teman yang baik, ia selalu memikirkan kamu. Bahkan, saat pelatih berkata ingin mencari pengganti, ialah yang lebih dulu paling menentangnya...''
   ''Hei, jangan lupakan aku.'' potong Sonya.

Jeje hanya terdiam. Ia masih menangis tersedu sedu. Sebenarnya ia menangis bukan karena perlakuan Shania atau Sonya, ia hanya ingin Shania untuk tidak terlalu memikirkan impiannya itu.
   ''Sampaikan maaf ku pada Shania.'' ujar Jeje.
   ''Dan, maafkan aku ya, Pan.'' tambahnya.

Sonya menggangguk sambil tersenyum. Mereka segera meninggalkan Jeje.

***

   Sore itu, Ve dan Melody baru saja pulang dari sekolahnya. Hari ini mereka mendapatkan pelajaran tambahan di kelasnya. Mereka berdua berjalan menuju jalan raya.
   ''Aku gak menyangka Stella bakal menerima kita.'' kata Melody.
   ''Ya, aku juga. Walau nanti kita akan menjadi musuh saat audisi, tetapi ia malah mau menyumbangkan keahliannya pada kita. Sudah jelas, dia adalah orang yang baik.''

Tiba tiba saja langkah Ve terhenti. Ia melihat sebuah kaleng sampah tepat didepannya. Ve jengkel.
   ''argh, tahun sudah sering berganti tetapi masih ada aja yang membuang sampah sembarangan. Seharusnya orang kita meniru kebersihan dari orang luar. Sampah sebesar ini saja masih dibuang ditengah jalan.''
   ''Yaudah, kamu buang aja kaleng itu ke tempat sampah.''
   ''Buang katamu? Aku gak mau membuang sampah orang lain.''

Lalu Ve iseng menendang kaleng tersebut. Ah, diluar kendali. Ve menendang terlalu keras hingga kaleng itu melesat kencang terbang di udara. Kaleng itu mengarah ke seorang wanita dan hantaman pun tidak bisa terhindarkan.

Ve sangat panik, disebelahnya Melody malah menertawainya. Wanita yang terkena kaleng itu sebenarnya hatinya sedang tidak baik, ia malah mendapatkan hantaman kaleng. Tentu membuatnya sangat marah. Wanita itu mengelus ngelus kepalanya yang sakit sambil membalikkan tubuhnya dengan wajah emosi. Ia melihat dua orang wanita tepat didepannya dan segera menghampirinya. Rambutnya yang pendek, gayanya yang bertingkah seperti pria membuat Ve merasa takut. Tidak seperti kebanyakan wanita lainnya, wanita ini lebih menyukai memakai pakaian pria dengan style Jepang. Tidak heran jika penampilannya itu mengundang Ve menjadi ketakutan. Apalagi wanita ini cepat sekali emosi. Biasa teman teman dekat rumahnya memanggilnya dengan sebutan multi paras. Ya, wajahnya yang cantik tetapi tidak dengan sikapnya yang lebih mengarah ke pada pria. Walau sikapnya itu menakutkan, tetapi sikap wanita ini sering sekali mengundang tawa, kelakuan yang konyol dan humoris membuatnya gampang sekali berteman dengan siapa saja.

   ''Siapa diantara kalian yang melakukan ini?'' tanyanya emosi.
Ve ketakutan, biasanya ia mengumpet dibelakang Melo.

   ''Dia! Dia yang melakukannya!'' jawab Ve sambil menunjuk Melody.
Melody jelas akan kaget. Ia jengkel, padahal Ve lah yang sudah menendangnya. ''Kamu ini gimana. Bukannya tadi kamu yang nendang?'' bisik Melo pada Ve.
   ''Bantu aku kali ini saja. Aku paling benci bertengkar dengan sesama wanita. Pasti ujung ujungnya saling jambak. Aku gak mau rambut ku jadi kusut.'' bujuk Ve.
   ''Oh, jadi kamu mau aku yang di jambak oleh wanita itu?''
Ve cengar cengir.
Wanita itu segera menghampiri Melody. ''Benar kamu yang melakukannya?'' tanyanya sambil melototi Melo.
Melo menghela nafas. Ia nyerah dengan sikap Ve yang seenaknya itu. Terpaksa, lagi lagi Melody mengalah.
   ''Maaf, aku gak lihat ada orang didepanku saat aku menendang tadi.''
   ''Apa? Menendang katamu?''
   ''Ya benar. Temanku ini gak lihat tadi. Jadi, tolong maafkan dia, ya?'' selip Ve.
   ''Diam! Aku gak nanya sama kamu. Jangan suka ikut campur.'' bentak wanita itu.
   ''Kamu pikir ini lapangan sepak bola, apa? Masih mending kaleng itu mengenai ku, bagaimana kalau mengenai seorang Nenek?'' teriak kesal wanita itu.
   ''Dia galak banget.'' bisik Ve di telinga Melo.
   ''aku minta maaf. Kalau kepalamu luka, aku bisa mengobatinya.'' ujar Melo.
   ''Ya, tolong maafkan temanku ini. Kamu tau, temanku ini bercita cita jadi pemain sepak bola, jadi maklumi saja kalau dia suka menendang benda benda yang ada dihadapannya, iya kan?.'' ngeles Ve sambil menengok ke arah Melo.
Melody malah semakin gregetan dengan ucapan Ve itu.

   ''Begini saja, aku mau kalian squat jump sebanyak lima puluh kali.''
   ''Aku juga?'' tanya Ve.
   ''Ya. Kamu juga.''
   ''Tapi salahku apa?''
   ''Kamu selalu ikut campur. Wanita paling benci jika pada saat bicara ada yang motong. Sudah, lakukan saja.''
Ve ngeluh dalam hati. ''Aku juga kan wanita. Seenaknya saja.''

   ''Sudah turuti aja apa maunya. Sesama wanita gak akan ada habisnya perang adu mulut. Anggap saja kita sedang olah raga.'' bisik Melo.
   ''Ayo cepat lakukan!'' teriak wanita itu.

Sesegera itupun Ve serta Melo squat jump didepannya. Squat jump mereka mampu mengundang tawa bila seseorang melihatnya. Bagaimana bisa tubuh yang lebih kecil malah mempermainkan orang yang lebih dewasa. Orang orang disekitarnya malah menertawai mereka.
   ''Aku malu.'' bisik Ve seraya melakukan squat jump.
   ''Sama, aku juga.''

Dibalik wajahnya yang kesal itu, wanita itu justru termakan suasana, didalam hatinya ia tertawa puas bisa mengerjai orang yang lebih tua.
   ''Sesekali mencari kesenangan, memang enak mempermainkan orang itu.'' ucapnya.

   ''Aku udah selesai.'' ucap Ve dengan wajah merahnya itu.
   ''Oke, masalah kita sudah selesai. Dan kamu! Kamu harus banyak melakukan squat jump agar badanmu itu terlihat indah.'' ejek wanita itu pada Ve.
   ''makasih saran nya.'' jawab singkat Ve dengan wajah jengkelnya.

   ''Farish!'' panggil temannya.
   ''Oh, hai!''
   ''Kamu kemana saja? Aku udah nunggu daritadi.''
   ''Iya, maaf. Tadi ada sesuatu lah.''
Wanita itu serta temannya segera meninggalkan Ve dan Melody.
   ''oh, jadi nama dia Farish. Akan aku masukkan dia ke daftar hitamku.'' seru Ve sambil memandang Farish.



   Malam hari, disebuah GOR (gedung olahraga) di pusat kota. Mova serta seorang pelatih bulu tangkis bernama Herman memasuki ruangan pelatihan. Banyak anak remaja didikan herman yang sedang berlatih pada saat itu. Didalam gedung sudah disediakan meja dan kursi khusus untuk seorang dokter. Hari ini tidak ada kegiatan di klinik, orang tua Mova saat itu sedang berhalangan hadir makanya Mova disuruh menggantikan ibunya yang biasa bekerja di tempat itu. Lumayan, nambah nambah uang saku, pikir nya. Pak Herman mendidik sepuluh murid anak remaja, lima diantaranya pria dan sisanya wanita. Setelah mereka berdua sampai di meja khusus dokter, pak Herman mengumpulkan anak didikannya.

   ''Semuanya, mari berkumpul!''
Murid murid segera menghentikan latihannya dan langsung berbaris rapih.
   ''Saya akan perkenalkan pada anda semua, untuk sementara dokter yang biasanya sedang berhalangan hadir, dan wanita ini merupakan anak nya. Jika kalian mempunyai keluhan rasa sakit, dokter ini akan menanganinya.''
   ''Boleh saya tau namanya?'' goda seorang pria.
Mova menjadi grogi, Mova masih sangat muda, bahkan bisa dibilang mereka masih seumuran. Mova memandang semua para murid, ia tersipu.
   ''ya, nama saya Alissa Galliamova. Saya akan berusaha lakukan yang terbaik untuk kalian semua.''
Paras yang cantik membuat pria pria ingin menggodannya. ''Dok, aku punya keluhan sakit hati, bagaimana cara mengatasinya?''
Semua murid tertawa setelah mendengar gurauan dari salah seorang temannya. Begitupun dengan Mova.
Namun, Mova ingin sekali menanggapi pertanyaan tadi. Ia menjawab. ''Jika kamu gak bisa mengobati rasa sakit, maka lupakanlah dia. Jika kamu gak bisa melupakannya, carilah penggantinya. Jika kamu masih belum dapat penggantinya, carilah kesibukan seperti bekerja atau melakukan hal yang membuat kamu tertawa. Satu lagi, jangan pernah kamu mengingat ingat si dia dengan kenangan kenangan masa lalunya.''
   ''Memangnya kenapa, dokter?'' serobot seseorang.
   ''Kamu akan gila!'' jawab Mova singkat.

Semua murid tertawa mendengarnya. Disisi lain, mereka kagum dengan jawaban Mova itu.
   ''Wah, ternyata dokter sangat ahli dalam bidang apapun. Yasudah, kalian semua boleh melanjutkan latihan. Jika ada yang cedera, jangan malu malu untuk menemui dokter ini.'' ucap Pak Herman pada muridnya.

Sesegera itu para murid melanjutkan latihan. Pak Herman segera berpamitan dengan Mova. Setelah meninggalkannya, Mova duduk di kursi yang sudah disediakan. Di meja, sudah tertaruh buku buku mengenai nama nama murid beserta kesehatannya. Ia membuka dan segera membacanya. Saat Mova sedang membaca baca, datanglah seorang murid wanita bernama Fani menghampirinya. Mova memandang wajah murid itu, berkeringat dingin dan wajahnya sungguh pucat.

   ''Dok...'' panggilnya.
   ''ya? Apa kamu mempunyai keluhan rasa sakit?'' Tanya Mova.
   ''Um... Begini.''
   ''Duduklah!''

Mereka duduk saling berhadapan. Si pasien itu selalu saja memegang Dadanya.
   ''Dada saya ini, entah kenapa suka tiba tiba terasa sakit, Dok.'' keluhnya.
   ''Apa saat sakit, dada anda bagaikan tertusuk tusuk dan berkeringat dingin?''
Ia menggangguk.
   ''Sakit yang anda derita merupakan gejala arteria koronaria.''
   ''Bagaimana dokter bisa menyimpulkan secepat itu?''
   ''Saya bisa menebak penyakit berdasarkan apa yang diderita pasien. Lagipula, disini gak ada cukup alat untuk memeriksanya. Saya hanya melakukan pertolongan darurat dan arahan saja pada pasien. Jika kamu gak percaya, kamu boleh memeriksanya ke rumah sakit.''
   ''Tapi, apa itu arteria koro... Koro apa tadi, dok?''
   ''Arteria Koronaria.'' Mova memperjelas.
   ''Ya, itu.''
   ''Arteria Koronaria merupakan gejala menyempitnya nadi tajuk. Nadi ini kecil dan dapat tersumbat. Jantung yang terus menerus kerja memompa darah ke seluruh tubuh, mendapat makanan dari nadi tajuk tersebut. Kalau hanya terjadi penyempitan, penderita cuma alami keringat dingin dan pucat saja.''
   ''Oh, begitu. Lalu, apa yang harus saya lakukan, dok?''
   ''hentikan latihan sekarang juga dan istirahatlah. Jangan lupa juga untuk selimuti badan anda agar tetap hangat. Bila perlu minumlah brandy untuk melancarkan aliran darah kamu.''
   ''T- tapi...''
   ''Tenang saja, aku akan bicarakan ini pada pelatih. Aku juga akan membuat catatan kesehatan kamu dan memberikannya pada pelatih.''
Sejenak terdiam si pasien itu. Ia merasa kecewa karena tidak bisa mengikuti latihan.
   ''begitu, ya. Mau bagaimana lagi. Makasih ya, dok. Aku permisi dulu.''

Mova menggangguk dengan senyum. Ia segera membuat catatan kesehatan pasien tersebut. Setelah itu, ia kembali membaca.

***

   Ditengah malam ia berjalan seorang diri. Suasananya sungguh gelap. Semakin ia berjalan ke depan, semakin terdengar suara ombak dari kejauhan. Ia berjalan sempoyongan, ia belum makan dari pagi. Hatinya diselimuti dendam yang amat besar. Ia berkeringat, berjalan sejauh tiga kilometer hanya ingin menyendiri atau menenangkan pikirannya di pinggir pantai. Dipikirannya selalu terbayang bayang kalimat saudaranya itu.

   ''Va, kedua orang tua kamu mengalami kecelakaan di tol.''
Mendengar itu, Shiva hampir ambruk.
   ''Apa maksud kamu? Enggak mungkin.'' protes Shiva.
   ''Saat itu hujan turun dengan sangat deras, Va.'' saudaranya itu menjelaskan seolah membujuk Shiva agar mau mengerti.
   ''Baru tadi sore kami makan bersama sama dirumah. Mereka dalam keadaan baik baik saja. Lalu apa yang membuatnya mengalami itu? Enggak mungkin. Siapa yang sudah membuat orang tuaku kecelakaan, cepat katakan!'' Teriak Shiva. Ia masih belum percaya dengan apa yang diucapkan saudaranya itu.
   ''Enggak ditabrak. Rupanya mobil yang dikendarai Ayahmu itu menabrak pagar pembatas dan terjun ke jurang. Mobilnya ringsek.'' lanjut saudaranya tanpa kasihan.
Mendengar itu. Tubuhnya gemetaran, ia menjadi lemah dan terjatuh ke lantai dengan berlinangan air mata.

Mengingat tragedi yang lalu membuatnya ingin sekali mengakhiri hidupnya. Sudah tidak ada lagi keceriaan, kebahagiaan, ketentraman dihidupnya yang sekarang. Ia berjalan tanpa memandang kedepan, kepalanya selalu menghadap ke bawah. Ia sudah tidak peduli lagi dengan apa yang ada didepannya. Mau tertabrak mobil, jurang atau mungkin sebuah paku yang menembus kakinya itu, sudah tidak peduli.


Bu, Ayah, besok adalah hari pertama kali aku masuk sekolah. Temen temen ku semuanya sudah pada punya tas baru, seragam baru dan juga buku baru. Apa Ayah dan Ibu gak belikan aku juga? Aku juga kan mendapatkan ranking ketiga. Ayah kan sudah janji kalau aku berada di ranking satu sampai tiga, Ayah akan membelikanku tas baru. Apa Ayah lupa?

Mana mungkin ayah lupa, benar kan, Bu? Anakku mendapatkan ranking tentu harus dirayakan. Memangnya anakku yang pintar ini mau dibelikan apa saja? Sebut saja.

Um, aku mau tas, sepatu dan juga jam tangan.

Iya, nanti Ayah dan Ibu akan membelikannya.

Asik! Makasih.


Kalimat itu sungguh membuat hati tertusuk. Ia selalu menyalahkan dirinya sendiri.
Seandainya, seandainya dan seandainya. Aku sendirilah yang membuat hidup ku jadi begini. Apa salahku saat aku masih kecil dulu? Kenapa engkau tega mengambil nyawa orang yang kusayangi?
Shiva duduk dibawah pasir pantai yang lembut. Ia terdiam termenung memandang air laut yang luas didepannya. Siapakah yang harus aku disalahkan? Pada siapa aku harus marah?
Ayahku? Yang menyetir tidak hati hati. Aku? Yang sudah menyuruhnya membeli Tas. Atau... Tuhan?

Tidak! Aku gak berani menyalahkan Tuhan. Semuanya ada pada genggamanNya. Kita semua hanya butiran pasir bagi Nya.
Tetapi kenapa Engkau tega melakukan ini padaku?

Shiva berbaring dibawah pasir. Memandang langit yang penuh dengan bintang bintang. Seketika rasa laparnya hilang setelah melihat keindahan langit dipadukan dengan angin yang bertiup sepoi menyentuh kulitnya. Tubuhnya direbahkan, membuatnya merasa nyaman. Andai aku menjadi salah satu dari bintang itu. Mungkin aku tidak akan pernah merasakan keputusasaan, balas dendam dan kekecewaan seperti yang aku rasakan saat ini.





Bersambung...

Jumat, 27 April 2012

Teater JKT48 Akan Segera Diresmikan!

Hoax-kah judul artikel ini? Tidak! Admin mendapatkan informasi ini langsung dari official JKT48, dan teman-teman tahu, betapa senangnya admin begitu mendengar pernyataan official ini!

Tanggal 7 maret 2012 lalu, mungkin teman-tema fans masih ingat, manajemen JKT48 mengonfirmasi adanya teater JKT48 dengan kalimat "Soon! We're working on it!"

teater JKT48

Dan sekarang, sebulan lebih 3 minggu setelah konfirmasi diatas, official JKT48 menegaskan bahwa teater JKT48 akan diresmikan segera! Ya! Benar-benar segera...
Berikut screenshot pernyataan official (klik disini untuk menuju wall post-nya)

teater JKT48
Yup, benar-benar secepatnya! Semoga manajemen tidak nge-troll lagi ya, hohoho..
Tapi admin yakin manajemen JKT48 tidak berniat mengerjai fans. Ini bisa dilihat dari kegiatan member yang begitu padat akhir-akhir ini, sampai latihan pun ditambah jamnya hingga tengah malam! Mungkin JKT48 akan memberikan suatu yang spesial di pembukaan teaternya nanti.

Dimana teaternya? Dan kapan diresmikan? Teater pastinya di Jakarta, dan kita masih harus menunggu (sedikit lagi) untuk kepastiannya.
We Love JKT48!

Update : Teater JKT48 sudah resmi dibuka! Walaupun masih bersifat sementara. Klik disini untuk tahu prosedur memesan tiket untuk penampilan pertama JKT48 di teaternya

Kamis, 26 April 2012

Berita Terbaru dan Seifuku Baru JKT48

Setelah dua hari blog ini tidak update karena satu dan lain hal, akhirnya admin bisa tulis artikel lagi. Kira-kira ada kabar baru apalagi dari grup para idola ini ya?

Sebenarnya ada banyak kabar, namun jika ditulis masing-masing 1 artikel, jadinya hanya berita pendek saja. Jadi, admin mau merangkum semua update tentang idola kita 3 hari terakhir
  1. Mungkin teman-teman fans sudah tahu hal ini. JKT48 akan tampil di acara Indonesia Beraksi MNC TV, hari ini, 27 April 2012 jam 17.00 WIB.
  2. Nabilah akhirnya membuat akun Facebook baru, setelah yang akun yang lama dinonaktifkan beberapa minggu terakhir. Admin sudah cek, dan bisa dijamin akun facebook Nabilah ini asli, karena akun ini baru berteman dengan sesama member JKT48 lainnya, dan setelah admin cocokkan semua daftar member JKT48 yang menjadi temannya, ternyata semua profile link-nya sesuai dengan yang pernah dipublikasikan official (Daftar akun Facebook member JKT48 klik disini). Sepertinya Nabilah belum melakukan sesi konfirmasi teman. Jika teman-teman fans ingin meng-add Facebook Nabilah klik disini
  3. Akhir-akhir ini JKT48 mempunyai kegiatan yang sangat padat, mereka berlatih belasan jam tiap harinya, dan rajin melakukan rekaman, bahkan tweet terakhir Cleo membuat fans sedikit bertanya-tanya, kejutan apalagi yang akan diberikan JKT48? Isi tweetnya seperti ini, "Alhamdulillah☺ semua kegiatan hari ini berakhir sampai disini. Selamat malam semua. Dan selamat pagi buat kami.", dan tweet ini ditulis jam 2.37 dini hari! Sedang apa ya mereka? Kalimat "selamat malam semua, dan selamat pagi buat kami" benar-benar menimbulkan tanda tanya. Apakah mereka sedang berada di tempat yang mempunyai perbedaan waktu dengan kita? Who knows..
  4. JKT48 tampil di event Sakura Matsuri Lippo Cikarang, 28 April 2012
  5. Keesokan harinya, yaitu 29 April 2012, JKT48 akan melakukan meet and greet lagi lewat event Sharp Koten. Spesialnya, event ini diadakan di Bandung, tepatnya di Log In Store. Ini adalah kali pertama JKT48 menyapa idolanya di luar Jabodetabek. Buat teman-teman fans JKT48 di Bandung, jangan lewatkan kesempatan ini ya! Berikut event banner-nya
JKT48

Nah, sesuai dengan judul artikel ini, admin juga mau kasih tau seifuku baru JKT48! Informasi ini admin dapat dari fanbase Dhike di twitter, yaitu dhikeringer. Menurut admin fanbase-nya sih, seifuku baru JKT48 ada banyak, namun ia hanya bisa mempublikasikan yang berikut ini

beby dan stella JKT48

Bagaimana, kawaii 'kan? Sepintas mirip baju pramugari ya..

Biasanya, seifuku baru menandakan adanya cover single baru. Apakah JKT48 akan segera memperkenalkan cover single terbaru mereka? Menarik untuk ditunggu

Selasa, 24 April 2012

JKT48 Novel Fan Fiction Part 5 (Season 1)

Fan fiction ini adalah lanjutan dari JKT48 Novel Fan fiction sebelumnya yaitu Part 1, Part 2, Part 3 dan part 4. Karya fan fiction ini diterbitkan di JKT48 Fanblog atas kerjasama dengan fanpage JKT48 Novel, karya teman kita Chikafusa Chikanatsu
Follow juga JKT48 Novel di twitter

JKT48

   ''Aku...
Aku benci dunia ini. Aku benci Ayah. Aku benci Ibu. Aku benci segala yang ada disekitarku.
Semuanya... Semuanya sudah gak peduli padaku. Untuk apa aku hidup hanya untuk menerima kekejaman ini. Aku ingin seperti mereka, ceria dan selalu tersenyum. Kenapa semua ini terjadi padaku? Kapan semua ini berakhir? Aku udah gak peduli...''

Ruangan yang tadinya gelap menjadi terang. Semuanya sudah dialiri listrik. Walau begitu bukan berarti suasana menjadi tenang, tetap sama. Hujan masih turun. Namun tidak separah yang sebelumnya. Pandangan mata sudah bisa melihat. Kamar Ayu sungguh berantakan. Bantal serta selimut berserakan dimana mana. Peralatan make up tidak pada tempatnya, tumpahan bedak berceceran dilantai. Tak tampak keberadaan Ayu didalam kamar. Sebenarnya ada dimana?


Tepat didepan gedung apartemen tengah malam. Udaranya begitu dingin. Air hujan yang menyentuh kulit sungguh membuat badan menggigil. Wajahnya memancarkan aura kepasrahan. Ditengah guyuran hujan Ayu berdiri terdiam. Baju yang dipakainya entah kenapa bisa robek dibagian bahu. Sudah merasa tidak peduli dengan apa yang terjadi pada dirinya. Keputusasaan membuat pikiranya kacau. Apalagi ditengah malam begitu Ibunya belum juga pulang menemaninya. Tubuhnya menggigil kedinginan. Wajahnya pucat. Kurang lebih sudah dua puluh menit Ayu berada dibawah guyuran hujan. Ayu menangis, namun air matanya tidak terlihat, sudah tercampur dengan air hujan yang mengalir di wajahnya. Semua tubuhnya basah kuyup.

Tiba tiba saja Dhike muncul disisi Ayu. Memandang Ayu dengan rasa kasihan. Disisi lain juga Dhike merasa kecewa dengan perbuatan Ayu yang cari penyakit itu. Sebelumya, setelah lampu menyala Dhike segera menelepon Ayu, namun tidak diangkatnya. Setelah itu Dhike segera mendatangi kediaman Ayu, namun tidak ada yang menyapanya. Dhike menjadi khawatir.

Ayu masih belum menyadari keberadaan Dhike yang berada tidak jauh disisinya. Dhike terus memandang Ayu dengan tatapan kecewa. Tubuh Dhike sudah ikut basah kuyup diguyur air hujan. Wajah Dhike sungguh pucat, tubuhnya menggigil hebat, ditambah lagi sakit kepala yang belum kunjung sembuh. Dhike terpaksa menahan semua rasa sakit itu untuk membuktikan kalau dirinya peduli terhadap Ayu.

Diluar hanya ada mereka berdua saja. Perlahan Ayu mulai menoleh kesamping. Air hujan membuat pandangannya menjadi buram. Siapa yang didepan itu? Ayu mulai mendekatinya perlahan. Setelah mengetahui bahwa itu Dhike, ayu terdiam. Mereka saling pandang memandang. Benarkah itu kakak? Sedang apa dia disini? Apa dia memperdulikanku?

   ''k-kak...''
   ''Apa kamu puas? Apa kamu pikir kamu sendirian? Apa kamu pikir aku gak peduli sama kamu? Apa dengan begini baru kamu percaya?'' ucap Dhike.
Ayu terdiam mendengarnya. Bagaimanapun Dhike sudah menyerahkan kepercayaannya pada Ayu. Melihat sikap Dhike yang sampai sejauh itu, yang ada hanya rasa penyesalan dalam diri Ayu.

   ''A-Aku...''
   ''Tolong jangan lakukan hal yang membuatku kecewa. Aku udah janji akan selalu ada disisimu. Jika kamu merasa sepi datanglah padaku. Jika ada yang jahat bilang lah padaku. Aku akan menjadi kakak yang sesungguhnya buatmu.''
Mendengar ucapan Dhike membuat hati Ayu tersentuh. Matanya berkaca kaca.
   ''Tolong, ingatlah semua kata kataku ini. Jangan pernah...''

Dhike terjatuh sebelum menyelesaikan kalimatnya. Tubuhnya sudah sangat lemah. Pandangannya menjadi rabun. Sudah tidak ada tenaga untuk bangun.
''Kakak!'' teriak Ayu panik.
Ayu segera merangkul Dhike dan membawanya masuk kedalam apartemen.


***


   Disela sela kicau burung yang terdengar dari balik pohon, Cindy gulla menyempatkan diri untuk beristirahat dibawah pohon. Cindy terlihat mengenakan seragam SMP lengkap dengan tas yang tertempel di punggungnya. Saat itu masih sangat pagi, sedangkan masuk sekolahnya sekitar jam tujuh lewat dua puluh menit. Wajahnya terlihat sangat kegirangan. Seperti biasa, kalau ada waktu longgar Cindy selalu menulis riwayat hidupnya dibuku diary. Cindy segera duduk dibawah pohon yang rindang. Ditangannya sudah ada pulpen dan siap untuk menulis.

Hari ini aku senang sekali.
Hal yang aku impikan sejak kecil akhirnya bisa aku raih.
Tentu aku akan mewujudkannya dengan kerja keras ku. Aku tidak akan mengecewakan orang orang yang sudah mendukungku. Termasuk Ayah dan Ibu.
Sepertinya semakin hari, waktu terus memihak padaku. Apakah aku ini sedang bermimpi? Entahlah, tetapi aku sangat senang. Sebagai anak satu satunya yang dimiliki orang tuaku, aku akan membuat mereka bangga.
Waktunya hanya tinggal beberapa hari lagi.
Aku...
Aku akan berusaha semaksimal mungkin.


   Pukul tujuh lewat dua puluh menit. Sonya dan Shania berjalan dipusat kota. Letak sekolahnya tidak jauh dari lokasi mereka sekarang. Didepan mereka terbentang bangunan bangunan modern. Entah itu toko, kantor, restoran dan juga mall. Semuanya menyatu dalam satu wilayah. Suasananya masih sepi, tidak seramai pada siang hari.

Tiba tiba saja langkah Sonya terhenti didepan sebuah toko fashion. Didalamnya terdapat pakaian pakaian cantik, bercahaya dan sungguh sempurna. Hanya ada satu kalimat yang ada di hati Sonya. 'Keren!' pandangan Sonya tetap sama, mengagumi sebuah gaun yang terpajang didalam toko.

   ''Lihat, Ju. Cantik, ya. Kapan aku bisa miliki gaun itu ya?''
   ''Kapan kapan... Mungkin.'' ejek Shania.
Sonya menatap jengkel Shania setelah ucapanya. ''mungkin katamu? Aku pasti bisa memilikinya. Ya walau bukan hari ini.''
   ''Itu juga kalau masih ada. Biasanya yang dipajang kaya gitu pasti jumlahnya terbatas. Lagipula, cocokan juga aku yang memakai gaun itu.'' Narsis Shania.
Sonya tertawa sinis. ''Cocok katamu? Cocokan juga aku!''
Shania balik menatap sinis Sonya. ''Aku!''
   ''Aku!''
   ''Aku!''
   ''Aku!''
   ''Sudah, ah. Situasi genting gini malah ngurusin gaun. Sekarang ini kita harus cari cara agar Jeje mau ikut dalam latihan.'' ucap Shania.
   ''Benar juga. Kalau sampai Jeje gak hadir hari ini, pasti kak Cleo sang penguasa dunia akan bertindak dengan sangat kejam dengan wajah killernya itu.'' gurau Sonya.
   ''Aku punya ide!'' teriak Shania tiba tiba.

Sonya penasaran dengan idenya itu. Wajah Shania memang sangat meyakinkan. Pasti idenya sangat ampuh, pikir Sonya.
   ''.Ayo cepet bilang apa idenya?''
   ''Kamu mau tau? Mau? Mau? Mau? Bener mau tau?''
Sonya menggangguk tidak sabar.
Dengan wajah jahilnya Shania berteriak. ''Kamu seret aja dia.'' Shania tertawa puas sambil berlari menhindari kemarahan Sonya.
Sonya jengkel. ''Ide macam apa itu. Seret katanya?''
   ''Sini biar aku yang seret kamu ke jurang.'' tambah Sonya.
   ''Hei! Tunggu aku! Awas,ya. Kalau ada soal yang gak ngerti jangan harap minta bantuanku lagi.'' Teriak Sonya.
   ''Aku bisa minta bantuan Jeje, weee.'' ejek Shania.
Sonya semakin kesal dan mengejar Shania.


   Diruang kelas Melody duduk melamun. Seperti ada yang menganjal di pikirannya itu. Sepanjang sisa malam itu Melody tidak bisa tidur.ia terus memikirkan tawaran ve yang kemarin itu. Betapa menyenangkannya jika ia ikut berpartisipasi dalam audisi itu. Tetapi apa yang aku bisa? Aku tidak punya semua bakat itu. Ia terus memikirkannya, terus dan terus. Kalau misalkan murid baru itu melatih ku, apa aku mampu? Apa aku sanggup? Kalimat Ve masih menghantui kepala Melody. 'ini adalah kejadian yang sangat langka. Kamu harus memanfaatkannya.'

   ''Dor!'' teriak Ve yang muncul tiba tiba sambil memukul bahu Melo.
Melo kaget. ''Ish, kamu apa apaan sih? Lama lama bahuku ini memar karena pukulanmu itu.''
   ''Hayo, lagi mikirin apa? Oya, bagaimana dengan tawaranku yang kemarin itu? Kamu bisa, kan?''
   ''Aku belum bisa putuskan sekarang, Ve. Banyak yang harus aku pikirkan dahulu. Mengikuti audisi itu gak seperti kita mengikuti perlombaan tujuh belasan. Semua orang pasti akan berjuang mati matian untuk itu. Sedangkan aku, aku masih seperti bayi yang baru dilahirkan, gak bisa apa apa.''
   ''Hanya ada satu kalimat untukmu, kehokian! Kita itu hanya orang biasa saja. Kita gak bisa mengetahui nasib seseorang dimasa depan. Plis, deh. Jangan bersikap pasrah kaya gitu. Aku lihat, murid baru itu juga akan mengikuti audisi, lho.''
   ''Bagaimana kamu bisa tau?''
   ''Aku melihatnya di internet. Setelah aku teliti ternyata benar. Dia adalah murid baru itu, Stella. Aku jadi bimbang memikirkannya, Mel.''
   ''Aku tau maksud kamu. Semua orang pasti bersaing dalam audisi itu. Yang jadi pertanyaan, apakah Stella mau mengajarimu sebagai musuh atau pesaingnya dalam audisi itu?''
   ''Maksud kamu kita?'' sindir Ve.
   ''Kamu! Gak pake kita.''
   ''Pokoknya kita. Titik! Kamu harus ikut.''
Melo menghela nafas. ''Kamu keras kepala sekali.''

Bel sekolah berbunyi. Ruangan yang lenggang mulai padat. Semua siswa memasuki ruangannya masing masing. Stella datang dengan tubuh yang tergesa gesa. Sebelumnya ia berlari karena takut terlambat masuk. Stella duduk tepat didepan tempat duduk Ve dan Melo. Sebelumnya Ve sempat ingin memberi salam pada Stella, namun Stella tidak memperhatikannya. Ve harus menunjukkan sisi baiknya jika ingin menarik hati Stella. Stella masih sibuk merapihkan buku didalam tasnya yang berantakan. Ve masih terus menunggu saat yang tepat agar bisa bercakap dengan nyaman. Namun sayang, teman sebangkunya stella telah mengambil kesempatan terlebih dahulu. Mereka berdua malah tambah asik mengobrol. Terpaksa, Ve lagi lagi harus menunggu mereka selesai.

Melody sedikit tertawa melihat sikap Ve. Baru kali ini sikapnya pemalu begitu terhadap teman satu kelasnya. Entah karena Stella murid baru atau mungkin Ve sangat berhati hati mengambil kesempatan. Takut takut kalau Ve salah mengambil kesempatan yang ada malah membuat Stella merasa tidak nyaman dan akhirnya melupakan niatnya meminta bantuannya pada Stella.

   ''P-pagi Stella.'' Ucap Ve dengan wajah malunya itu.
   ''Oh, pagi Ve, Melo.'' Stella tersenyum.
Apes, setelah sapaan Ve, Stella malah kembali asik ngobrol dengan teman sebangkunya. Melody malah semakin tertawa melihatnya.
Ve melempar wajah Jengkel pada Melo. ''Apanya yang lucu?''
Melo ngeles. ''Gak, kok.''

Saat itu memang bukan saat yang beruntung bagi Ve. Seorang guru malah sudah datang dan segera memulai pelajaran. Terpaksa, kalau tidak waktu istirahat ya mungkin saat pulang nanti Ve baru akan mengambil hati Stella.

Lagi lagi Melo meledek Ve. Kali ini tawa Melo ditahan tahan. Tetapi tetap saja Ve melihat Melo yang sedang mempertawakan dirinya.
   ''Apanya yang lucu!'' Jengkel Ve.


   Ketegangan terjadi diruang kelas mereka bertiga, Jeje, Sonya dan Shania. Tidak ada yang berani ngobrol, tidak ada yang berani melamun, semuanya harus memperhatikan wali kelasnya yang terlihat kejam dimata muridnya. Cara mengajarnya memang bisa dibilang keras, jika ada yang tidak memperhatikan pasti akan terkena pukulan si batang kayu sapu. Saat itu semua murid sedang menyalin tulisan yang ada di papan tulis dengan Sonya yang sebagai sekretaris dikelas itu. Sedangkan wali kelasnya yang wanita itu sedang mengecek absen para murid.

Wali kelas itu menoleh ke arah Sonya. ''Sonya, tiga hari berturut turut kamu kemana?''
Spontan Sonya shok mendengarnya. Memilih diantara jujur atau berbohong? Sonya menghentikan menulisnya. Wajahnya sungguh panik.
   ''A-Aku...''
   ''Cepet jawab!'' bentak guru itu.
Ketakutannya bertambah ketika gurunya membentaknya. Badannya menjadi panas dingin. Tangannya bergetar. Apakah aku harus berbohong? Apa aku harus jujur? Nasib! Siap siap kena pukul batang sapu.

Wali kelas itu mulai menampakkan mata srigalanya. Perlahan menghampiri Sonya. Siap siap kena ceramah dan juga kekejamannya. Semua murid menunduk takut. Termasuk Shania, ia pasti bakal terkena sergapannya juga. Jeje menoleh ke arah Shania, merasa mengkhawatirkannya.

   ''Apa kamu pikir sekolah itu main main? Kamu itu baru duduk di kelas satu. Baru awal saja kamu sudah dapat kasus. Apa kamu mau gak naik kelas?'' ucap guru dengan nada keras.
Sonya menggelengkan kepalanya.
   ''Tamat deh gw.'' ucap Shania sambil menjauhkan wajahnya dari tatapan guru. Takut takut jika terlihat akan senasib dengan Sonya nantinya.
   ''Ayo cepat katakan, tiga hari kemaren kamu kemana saja?''
Sonya masih menutup mulutnya. Toh jujur juga pasti akan kena hukuman, pikirnya.
   ''Gak mau jawab juga?'' kesal guru itu. Mau gak mau terpaksa guru itu mengambil sapu di pojokan kelas.
Sonya bertambah panik serta ketakutan. Siap siap tangannya memar terkena hantaman sapu.

Tidak lama kemudian Melody muncul beserta buku seabrek yang ada ditangannya seraya menggedor gedor pintu kelas. Ya, mereka ternyata masih satu sekolahan dan juga Melody merupakan kakak kelas mereka. Wali kelas itu segera membukakan pintu.

   ''Permisi, Ibu. Maaf kalau mengganggu.''
   ''Ada apa?''
   ''Guru akuntansi menyuruhku untuk memberikan buku buku ini pada semua murid baru.'' senyum Melody.
Syukurlah, Sonya merasa lega. Setidaknya perhatian guru itu tertuju pada Melo. Tapi tetap saja hanya untuk sementara. Kedepannya, i don't know.
Guru itu berkata. ''Kebetulan kamu datang. Sebagai kakak kelas berikan contoh yang baik pada adik adik mu ini.''
   ''Iya, aku akan berusaha memberi contoh yang baik nantinya.''
   ''Benar kamu akan memberikan contoh yang baik pada adik kelasmu?'' ulang guru.
Entah apa yang direncanakan guru ini. Kenapa perkataannya di ulang? Aduh, ampunilah aku, Bu.
   ''Tentu saja, Bu.'' Jawab Melo dengan rasa percaya dirinya.
   ''Aku sebagai kakak kelas pasti harus memberi contoh yang baik. Jika ada yang salah, itu pantas dihukum. Dengan begitu mereka yang salah akan kapok dan tetap berada di jalur yang sebenarnya.'' tambah Melody.

Oh, tidak! Guru itu hanya sedang memancingmu Melody.
   ''Kalau begitu kamu pukul dia dengan sapu ini.'' Ucap guru.
Melody kaget. ''Apa? t-tapi...''
   ''Kenapa? Jawabanmu yang tadi itu sudah cukup bagus. Menghukum orang salah. Orang itu ada disebelah sana.'' ucap guru sambil menoleh ke arah Sonya.
   ''Dia sudah tiga hari tidak masuk tanpa alasan.'' tambahnya.

Guru itu menyodorkan sapu yang dipegang nya pada Melody.
Di sisi lain Melo Jengkel. ''Ah, dasar. Apa dengan begini guru ini bisa terhindar dari sebutan killernya itu? Bisa bisanya dia memanfaatkanku. Aku harus bagaimana? Apa murid baru itu gak apa apa bila ku pukul?''

Tanpa banyak kata Melody mulai mendekati Sonya. Sedangkan Sonya semakin gugup saja. Apakah pukulannya akan kencang?

Ya, aku harus menghukum yang salah, aku sebagai kakak kelas harus memberi contoh yang baik. Tidak peduli siapa orangnya. Maafkan aku...

Diayunkannya batang sapu yang dipegangnya secara perlahan. Melody malah semakin percaya diri, entah kenapa wajahnya berubah menjadi membara bara. Tatapan matanya yang tajam sungguh menakutkan, seperti siap memangsa.

Sonya semakin takut saja. Baik guru atau Melody tetap saja sama. Begitu menyeramkan.

   ''Siapa dia? Apa dia ini termasuk ketua geng di kelasnya? Aduh, ampunilah aku, kak. Pelan pelan saja, ya.'' ucap kata hati Sonya.

Melody mulai membidik tangan Sonya. Kedua mata Sonya di pejamkan, tidak sanggup melihat. Sapu pun segera melayang ke arah Sonya.

Bruuk!--
   ''Aaaaaaaaw!'' teriak Sonya kesakitan.
   ''Mantep!'' Jeje keceplosan.
Kalimat Jeje terlalu keras di ucapkan. Jeje malah menjadi pusat perhatian. Semua mata memandangnya, termasuk guru.
   ''eh, b-bukan apa apa. A-aku...aku hanya...'' Jeje menjadi salah tingkah. Disaat temannya dihukum, Jeje malah mengucapkan kalimat yang bukan seharusnya. Semua temannya menjadi salah Paham dengan kalimat Jeje. Padahal, Jeje hanya kagum dengan Melody yang menjunjung tinggi aturan. Tidak peduli siapa orangnya, Melody tetap tidak segan segan memukul sampai sekeras itu.


***

   Sambil mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan di pagi hari, perasaan bibi sangat resah. Semalaman ia hanya tidur sebentar saja. Bentar bentar selalu menengok ke kamar itu, Bentar bentar ia selalu memantau Jam. Sejak kemarin sore anak majikan itu belum juga keluar dari kamarnya. Sebagai pembantu di rumah itu, bibi hanya bisa mengerjakan apa yang sudah seharusnya, dia tidak berhak mencampuri urusan majikannya. Sudah lima tahun bibi bekerja di rumah itu, Wajar bila ia sangat mengkhawatirkan anak dari majikannya. Dari kemarin sore anak majikan itu belum juga keluar dari kamarnya. Dengan perasaan gelisah bibi itu mendatangi kamar anak majikan tersebut.

Lalu bibi itu mengetuk ngetuk pintu kamar. Tidak ada yang merespon sapaannya. Kemudian bibi menempelkan telinganya ke pintu, tidak ada suara yang terdengar, apakah ia masih tidur? Biasanya jam lima pagi sudah bangun, tapi sekarang sudah jam setengah delapan. Apa dia tidak berangkat sekolah?

Bibi kembali mengetuk ngetuk pintu, disela ketukannya ia berkata. ''Non, Beby! Apa kamu gak sekolah? Sudah siang. non.''
Hasilnya tetap sama. Jelas akan sia sia. Dan nampaknya pun akan percuma jika Beby bangun saat ini juga, ia tetap akan terlambat ke sekolah.

Tidak lama kemudian orang tua Beby datang. Mungkin karena mendengar ucapan Bibi barusan. ''Ada apa. bi?''
   ''Anu, non Beby belum juga bangun. Sudah siang dan dia harus segera berangkat Sekolah.''
   ''Sudah, biar saja. Dia itu sangat keras kepala. Kemauannya itu sungguh gak masuk akal. Lagipula saya sudah mengirim surat izin ke sekolah.''
   ''Tapi, Bu. Sejak kemarin sore Beby belum juga keluar. Dia juga belum sarapan pagi ini.'' cemas Bibi.
   ''Nanti juga kalau saatnya tiba di akan keluar. Saya sudah tahu betul sifatnya. Kejadian kaya gini memang sering terjadi. Bibi jangan terlalu memanjakannya.''
   ''Bukan begitu. Saya hanya takut dia akan semakin tertinggal pelajarannya. Dia kan sudah kelas Tiga SMP.''
   ''Sudah, Bibi kembali saja bekerja. Biar saya yang tangani ini.''

Bibi hanya menggangguk. Apa boleh buat. Bibi tetaplah Bibi, seorang pembantu. Dia tidak berhak terlalu ikut campur dengan urusan Majikannya. Usia Bibi sudah lanjut, pengalaman hidup serta pemikirannya pun pasti berbeda. Biasannya yang lebih tua pasti sering mengoceh, namun dalam artian memberi nasihat.

Orang tua Beby mencoba mengetuk ngetuk pintu kamar Beby.
   ''Beby! Beby! Dengerin mamah. Cepat kamu keluar dan segera sarapan.''
Masih tetap tidak ada jawaban.
   ''Beby!'' teriak kesal orang tuanya.
Orang tua Beby mencoba membuka pintu kamar, namun terkunci. Ia segera mengambil kunci cadangan yang ia simpan di tempat rahasia.
Tidak lama kemudian pintu terbuka. Didalam kamar tidak ada siapa siapa. Ibu melihat sekeliling, kaca kamar terbuka lebar. Apa mungkin? Ibu segera menyelidikinya. Dilihat dari ukuran kaca kamarnya yang terbuka lebar, ukurannya sangat cocok dengan ukuran tubuh Beby. Tas sekolahnya pun tidak ada, begitupun dengan seragam sekolahnya. Tidak salah lagi, Beby berangkat ke sekolah secara diam diam.

   ''Anak itu! Dibilangin susah sekali. Dia kan belum sarapan.'' greget Ibu.
Kenakalan Beby memang sudah sering terjadi. Dia pasti berulah saat keinginannya tidak terpenuhi. Ini bukan hal aneh lagi bagi orang tuanya. Walau nakal dan nekat, Beby merupakan anak yang pintar di sekolahnya. Terlihat begitu banyak buku buku edukatif di kamarnya. Jika Beby merasa bosan, hal yang dia lakukan hanyalah membaca. Dan hal yang paling di bencinya adalah kekalahan, kekalahan akan debat kepintaran. Tidak heran kalau Beby sering sekali mendapat rangking dan beasiswa di sekolahnya.

Ibu mengambil ponsel dan segera menelepon teman satu kelas Beby. Walau hanya dugaan, Ibu harus memastikannya.
   ''Halo? cindy, apa Beby ada di sekolah?'' tanyanya.
   ''Oh, iya, Bu. Ini kami lagi bersama. Memangnya kenapa, Bu?'' balik Cindy bertannya.
   ''Oh, syukurlah kalau begitu. Gak apa apa. Oya, apa Cindy punya uang lebih?''
   ''Iya, Bu. Ada.''
   ''Kalau begitu bisa kamu pinjamkan pada Beby? Hari ini dia gak bawa uang jajan. Dia juga belum sarapan tadi.''
   ''Iya, Bu. Pasti. Sudah dulu ya, Bu. Sudah ada guru yang datang.''
   ''Iya, belajar yang baik ya. Salam sama Ibumu. Makasih.''
   ''Iya.''



   Dhike memandangi Ayu yang duduk sambil tertidur disampingnya. Dhike memandang terus tanpa kedip. Dari hati yang dalam timbul rasa kasihan yang amat besar. Ia merapihkan poni Ayu yang kusut dengan jarinya. Sejak kemarin malam Ayu menjaga Dhike. Penampilannya sudah tidak karuan, baju yang basah kuyup sejak kemarin malam masih dipakainya, tubuh serta rambut yang basah hanya di lap dengan kain handuk saja. Baru kali ini Ayu berpenampilan seperti itu. Padahal Ayu sangat menyukai dengan yang namanya kerapihan. Bila ada beberapa helai rambut yang kusut saja maka ia akan segera merapihkannya. Apakah keputusasaan kah yang membuatnya jadi seperti ini? Seandainya orang tuaku ada disini, dia pasti akan memanjakanmu seperti layaknya anak sendiri.

Kenapa kamu harus menerima semua ini? Sejak kecil kamu sudah ditinggal oleh Ayahmu yang entah pergi kemana. Kenapa ia tega meninggalkanmu, sedangkan aku melihat ketulusan dari hati Ayahmu itu. Hanya ada seorang Ibu yang ada disisi mu, tapi dia tidak pernah ada saat kamu berteriak ketakutan. Yang Ibumu pikirkan hanyalah pekerjaan, sampai sampai setiap sarapan di pagi hari kamu harus menyiapkannya sendiri.
Malang sekali...

Dhike melihat jam yang tertempel tepat didepan dinding kamarnya. Sudah jam sepuluh pagi. Walau Dhike tergeletak lemah di kasurnya, tetapi ia berusaha bangkit untuk membuat sarapan. Sebelum berjalan keluar kamar, Ia menyelimuti Ayu dengan selimut tebal. Sesekali kepalanya dipegang karena tidak sanggup menahan rasa sakit.

Ia menyalakan dispenser untuk menghangatkan air. Sambil menunggu air hangat, ia meletakkan dua mangkok berisi cereal yang ia ambil dari dalam kulkas. Ia juga menyiapkan roti sebagai pendampingnya. Takut takut kalau Ayu tidak mau memakan cereal.

Sepuluh menit sudah berlalu. Sarapan sudah tertata dengan rapih di meja. Dhike berjalan ke kamar untuk membangunkan Ayu.
   ''Yu, bangun. Kita sarapan dulu.'' ucap Dhike dengan memegang bahu Ayu.
Perlahan Ayu terbangun. Ia masih khawatir dengan keadaan Dhike. ''Kakak...''
   ''Aku udah mendingan, kok.''
   ''Maaf, aku ketiduran hingga lupa membuat sarapan.''
Dhike menarik tangan Ayu. ''Ayo kita makan sama sama.''
Mereka berdua menuju meja makan. Terlihat beberapa helai roti isi mentega di atas meja. Ayu menjadi mengingat masa lalunya.

 ___________
Lima tahun yang lalu di kediaman Dhike pada pagi hari. Ayu mengambil mentega dari dalam kulkas dekat meja makan untuk membuat beberapa helai roti. Setelah selesai membuatnya, ayu berjalan menuju kamar Dhike yang hanya beberapa langkah dari meja makan.

Ayu berteriak. ''Kakak! Kakak! Sarapan buatan Ayu ini sudah jadi. Ayo makan sama sama.''
Tidak ada jawaban dari Dhike. Apakah dia masih tidur?
   ''Kakak? Apa kakak bosan dengan roti isi mentega buatanku? Aku bisa buatkan nasi goreng kalau kakak mau.''

Dibalik pintu kamar Dhike tertawa jahil. ''Iya aku bosan. Apa gak ada makanan lain selain roti isi mentega? Aku ingin makan tumis kangkung yang rasanya sama percis seperti buatan Mamahku.''
   ''Tumis kangkung? Pagi pagi begini?''
Mendengar jawaban Dhike membuat Ayu merasa kecewa. Setidaknya ayu sudah berusaha untuk menyenangkan hati Dhike dengan membuatkannya sarapan. Hanya itu yang Ayu bisa. Ayu kembali kemeja makan. Sudah ada empat helai roti yang dibuatnya. Ayu memandang roti buatannya itu. ''Sia sia aja aku buat ini. Aku kan gak bisa buat tumis kangkung.''

Lalu Dhike keluar dari kamarnya. Wajahnya kesal memandang Ayu. Namun itu semua hanya sandiwara Dhike saja untuk mengerjainya. Ayu melihat tatapan mata Dhike yang menyeramkan itu. Ayu menunduk ketakutan. Pasti kakak sangat marah padaku, pikir Ayu. Ayu masih sangat kecil saat itu. Biasanya, saat Ayu ketakutan Ayu selalu mengompol. Mungkin itulah tujuan Dhike menjahilinya. Dhike memukul meja dengan keras dengan telapak tangannya. Spontan Ayu kaget serta ketakutan.

   ''Apa ini? Lagi lagi roti isi mentega. Apa kamu gak bisa masak?'' bentak Dhike.
Ayu menunduk, wajahnya cemberut. Tidak berani memandang Dhike. ''Maaf...''

Setelah melihat ekspresi ayu yang begitu ketakutan, Dhike tertawa puas. ''Apa kamu kaget? Wuuu... Lihatlah wajahmu setelah ku bentak.''
Ayu bingung dengan wajah polosnya itu. Sebenarnya kakak ini kenapa?
Dhike menghela nafas. ''Tumben, kenapa kali ini kamu gak ngompol setelah ku bentak?''
Setelah mengetahui niat Dhike, Ayu jengkel. ''Ish, kakak! Nakut nakutin aja.''
   ''Aku cuma bercanda, kok. Aku gak sungguh sungguh.'' tambah Dhike disela tawanya itu.

Mendengar keributan mereka, ayah Dhike muncul dari kamar dan menghampiri mereka.
   ''Ada apa pagi pagi begini? Kenapa ribut sekali?''
   ''Ayah! Kak Dhike tuh. Dia nakal.'' seru Ayu dengan nada manjanya itu.
   ''Kenapa? Apa Ikey kembali nakal sama kamu?''
Ayu menggangguk sambil memanyunkan bibirnya.
   ''Sini biar Ayah yang hukum. Apa kamu mau Ikey dipukul?'' tanya Ayah pada Ayu.
Ayu kembali menggangguk. Kemudian Ayahnya memukul bahu Dhike. Tentu pukulannya hanya sekedar pura pura. Tentu saja Ayu yang masih kecil percaya. -,-
   ''Pukul lagi, Ayah.'' seru Ayu dengan tawa puasnya itu.
   ''Apa? Minta pukul lagi?'' protes Dhike.

Ayah kembali memukul bahu Dhike. Ayu tertawa melihat itu. Tawanya sungguh mampu mengundang kebahagiaan bila melihatnya. Mereka saling tertawa. Sudah tiga bulan Ayah Ayu menghilang sejak saat itu. Semua orang orang yang ada disekelilingnya terpaksa berbohong pada Ayu kalau Ayahnya itu sedang bekerja. Sejak saat itulah Ayah Dhike sudah mengganggap Ayu sebagian dari keluarganya. Ayah Dhike sudah sangat baik pada Ayu sehingga Ayu merasa nyaman. Apapun yang membuat dirinya merasa nyaman pasti Ayu akan mengganggap bahwa mereka adalah sebagian dari keluarganya.

 ____________

Ayu tersenyum mengingat itu semua.
   ''Ada apa? Kenapa tiba tiba tersenyum? Apa aku terlihat lucu?'' tanya Dhike.
   ''Bukan apa apa. Aku hanya teringat saat kita masih bersama sama dengan Ayah saat kecil.''
Dhike hanya tersenyum. Sebenarnya Dhike juga mengingat itu semua.

***

   Setiap manusia memiliki nasib tersendiri yang lain dari yang lain. Ada yang bernasib baik terlahir sebagai anak orang kaya, dan ada juga yang tidak. Apakah dunia ini adil? Itulah kalimat yang sering diucapkan Shiva, Wanita kesepian yang hidup di kosan kumuh. Ruangannya begitu berantakan, begitupun dengan penampilannya. Wanita berumur tujuh belas tahun ini hidup sendirian sejak lima tahun yang lalu. Kedua orang tuanya sudah tiada, saudara saudara pun entah kemana. Shiva menjalani hidup yang sama seperti manusia lainnya, hanya saja ia begitu tertutup. Sepulang sekolah ia hanya menyendiri dirumahnya, tidak pernah ada seorang temannya yang mau menemaninya.

Salah sebuah kenangan masa kecil Shiva masih terbayang bayang ketika saat Ayah dan Ibunya menyapanya setiap pagi. Shiva merupakan anak satu satunya, mungkin orang tuanya terlalu memanjakannya sampai sampai Shiva tidak ingin merelakan kepergian orang tuanya. Makanan yang ia makan sehari hari hanyalah mie instan, namun terkadang tetangganya berbaik hati memberikan makanan jika ada lebih. Setiap paginya Shiva berangkat sekolah, sepulang sekolah ia hanya menyendiri dirumah. Dan pada malam hari ia bekerja disebuah swalayan yang buka selama 24jam.

Shiva selalu merasa bahwa hidup ini kejam dan tidak adil. Yang kaya akan semakin kaya, lantas yang miskin apa bisa kaya? Dengan kerja keras? Apa gunanya bekerja keras jika sudah merasakan bahwa hidup ini buntu. Kenapa setiap manusia memiliki hati yang berbeda, ada yang jahat dan juga yang baik. Rasanya aku ingin sekali menghukum orang orang jahat yang sudah merendahkan martabat seseorang. Kenapa aku begitu lemah? Aku ingin sekali berhati kejam agar bisa menghukum mereka, tapi perasaan ini terlalu lemah. Kenapa? Kenapa dengan mereka semua? Apa mereka semua tidak mempunyai perasaan?

Aku ingin sekali mengakhiri kekejaman hidup ini dan hidup tenang di alam yang lain. Tetapi itu semua hanya pemikiranku saja, orang lama berkata, orang yang mengakhiri hidupnya sia sia tidak akan tenang di alam sana. Lalu, apa yang harus aku lakukan?

Shiva meringkuk dilantai yang dingin. Wajahnya penuh keputusasaan. Air mata kesiksaan tidak bisa ia tampung lagi. Ia menangis. Jika ia mengingat semua perlakuan teman temanya terhadapnya, ia akan semakin sedih. Kenapa manusia selalu dibanding bandingkan. Yang kaya akan selalu populer dan dipuja, sedangkan yang miskin hanya bisa di ludahi dan mendapat perlakuan kasar. Apa hanya aku yang seperti ini? Kadang aku berfikir betapa menjijikannya orang yang seperti itu.

Sudah dua jam lamanya ia menangis tersedu sedu. Hari ini ia tidak berangkat sekolah, ia sudah tidak sanggup berjalan kaki sejauh lima kilometer ke tempat sekolahnya. Kakinya sudah banyak bekas luka lecet. Gajinya sebulan hanya cukup untuk membayar listrik, air dan makan saja. Shiva sengaja berjalan kaki ke sekolah hanya untuk menghemat beberapa ribu rupiah saja dan biasanya ia pakai untuk membayar biaya sekolah.

Shiva juga sering menerima perlakuan kasar oleh pendiri swalayan tempat dia bekerja. Kerjanya di malam hari, dan saat suasana sepi, pria tersebut selalu menggodanya. Sedih rasanya menjalani kehidupan yang seperti ini. Shiva terus meneteskan air mata. Ia sesekali memanggil nama Ayah dan Ibunya. Kapan kalian kembali dan menemaniku?

Nama yang indah tapi tidak seindah penampilannya. Secara alami memang Shiva bisa dibilang cantik. Tetapi keputusasaan membuat penampilannya tidak terurus. Rambut panjang yang kusut dibiarkan terurai tanpa diikat. Pakaian yang sudah berhari hari masih tetap dipakainya.

''Va, kamu ini mau sekolah apa mau mulung? Tas kamu itu udah seperti karung tau. Sepatu juga robek kaya gitu. Apa kamu seorang pemulung?''
''Va, kamu gak punya minyak wangi? Baju mu itu bau apek tau.''
''eh, buat apa kita satu kelompok dengan dia, latar belakangnya mencurigakan. Eh semuanya, sembunyikan ponsel kalian. Siapa tau nanti bakalan ada maling.''
''Buku pelajaran aja kamu gak punya. Uang bayaran sering nunggak. Apa kamu seburuk itu sampai sampai tidak ada keluarga atau saudara yang peduli?''


Shiva berteriak kencang bila mengingat semua kalimat itu yang berasal dari mulut teman temannya. Ia bahkan melukai tubuhnya sendiri dengan menjambak rambutnya sendiri atau mungkin tangannya memukul mukul lantai hingga memar. Ia sudah tidak sanggup menjalani hidup yang seperti ini.



BERSAMBUNG...

Senin, 23 April 2012

JKT48 Novel Fan Fiction Part 4 (Season 1)

Fan fiction ini adalah lanjutan dari JKT48 Novel Fan fiction Part 1, Part 2, dan Part 3. Karya ini diterbitkan atas kerjasama JKT48 Fanblog dengan fanpage JKT48 Novel, karya teman kita Chikafusa Chikanatsu
Follow juga JKT48 Novel di twitter

JKT48

Di sebuah pelabuhan tempat bersandarnya kapal kapal pada sore hari. Pelabuhan ini lebih cocok dibilang tempat dimana orang orang yang ingin memancing dengan meminjam atau menyewa kapal kapal mini. Tentu banyak sekali kapal kapal yang bersandar pada saat itu. Jumlahnya diatas lima puluhan. Seorang wanita remaja berambut panjang terlihat sedang membersihkan kapal dengan menyikat sisi sisi body kapal dengan sikat lengkap dengan ember berisi air sabun. Pekerjaan ini memang tidak mudah dan menghabiskan banyak sekali energi. Terlihat pancaran wajah keputusasaan dari wanita itu. Air keringatnya mengucur deras dari atas kepala hingga jatuh ke dasar tanah. Tubuhnya sangat kelelahan. Nafasnya naik turun tidak teratur.



Kemudian Ronald datang menghampirinya. ''Ca, istirahatlah.'' bujuk Ronald.

Wanita itu tidak menghiraukan ucapan Ronald dan terus menyikat. Melihat itu, tiba tiba Ronald mengambil sikat yang dipegang wanita itu. Tanpa banyak kata atau perintah Ronald segera membersihkan kapal. Lebih tepatnya Ronald telah membantu pekerjaan wanita itu.

   ''Kamu ini kenapa? Pekerjaan ku ya pekerjaan ku. Pekerjaan mu ya pekerjaan mu. Jangan sok peduli denganku.'' ucap heran wanita itu.
Ronald tertawa menanggapinya. ''Aku ini masih punya banyak tenaga. Lagipula pekerjaan ku sudah selesai. Jadi, kamu tinggal duduk manis saja menunggu ini semua. Selesai.''
   ''Kamu ini ngomong apa? Sini biar aku aja yang mengerjakannya.''

Wanita itu berusaha mengambil sikatnya dari tangan Ronald. Namun Ronald menhindarnya.
   ''Jangan main main.'' kesal wanita itu.
   ''Siapa yang main main.'' balas Ronald dengan wajah kejahilannya itu. Seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Memang, tidak biasanya Ronald membantu jatah pekerjaan wanita itu. Mereka berdua sama sama bekerja di pelabuhan itu. Pekerjaan mereka tidak besar, bisa dibilang pekerjaan sambilan. Kerjanya hanya menyikat body kapal dari lumut yang menempel. Upah mereka pun hanya sebesar sepuluh ribu rupiah saja sehari. Biasanya mereka bekerja dari sore hingga matahari terbenam.

   ''Sudah ku bilang, kamu tinggal duduk manis saja sampai aku menyelesaikan semua ini.'' tambah Ronald.
Wanita itu kesal karena tidak bisa menebak isi hati Ronald. Sebenarnya dia itu kenapa? Kenapa dia suka sekali membuat orang penasaran. Apa yang akan dia rencanakan? Tau ah.
Dengan wajah kesal wanita itu meninggalkan Ronald. Berjalan dengan langkah tergesa gesa.

   ''Selamat ulang tahun, Rica!'' teriak keras Ronald.
Ya, nama wanita itu adalah Rica Leyona. Mendengar ucapan Ronald, Rica sempat terdiam sejenak. Kemudian dibalikannya tubuhnya menghadap Ronald perlahan. Hatinya sungguh tersentuh mendengar ucapan Ronald. Rasa penasarannya sudah hilang. Rica memang tahu betul bahwa hari ini adalah hari ulang tahunya. Tapi, darimana Ronald bisa tahu? Rica tidak pernah memberitahukan tanggal kelahirannya pada Ronald. Rica berjalan mendekati Ronald.
   ''Bagaimana kamu bisa tau?''
Ronald tersenyum. ''Ibumu lah yang sudah memberitahuku. Ibumu bilang, aku harus bersikap baik hari ini. Lalu aku bertanya, kenapa aku harus melakukan itu? Dan ibu menjawab bahwa hari ini adalah hari ulang tahun mu.''

Rica tersenyum malu. Merasa dirinya telah dikejutkan olehnya. Dan juga merasa sangat senang, bahwa dibelakang Ibunya sangat memperhatikannya. Tempat tinggal Rica tidak jauh dengan tempat tinggal Ronald. Mereka masih satu kampung. Mereka biasa bergaul bersama saat ada waktu kosong. Jika bertanya mengenai keadaan keluarganya, maka jawabannya adalah Rica merupakan anak dari kalangan bawah. Sama seperti Ronald. Walaupun begitu, Rica adalah wanita pekerja keras, apapun yang menghasilkan uang pasti ia akan lakukan tanpa ada rasa malu dalam dirinya. Karakternya tidak berbeda jauh dengan Ronald.

   ''Makasih ya atas ucapanya.'' ucap Rica senang.
   ''Gak perlu berterima kasih. Gak banyak hal yang aku lakukan untukmu. Mendengarnya aku jadi merasa bersalah. Tapi tenang saja, pekerjaan mu hari ini akan aku lakukan semuanya. Mungkin inilah yang bisa aku persembahkan untukmu. Jadi, kamu jangan mencoba menolaknya, ya?''
Rica menggangguk. Ucapan Ronald cukup membuatnya terharu. Apapun yang Ronald persembahkan saat di hari ulang tahunnya akan Rica terima dengan senang, baik itu hal kecil maupun besar. Matanya jadi berkaca kaca. Sangking terharunya sampai sampai meneteskan air mata. Tidak banyak teman yang Rica punya. Hanya Ronald lah yang paling mengerti isi kehidupannya. Mungkin itulah yang membuatnya sangat terharu.
   ''Hei, kenapa menangis? Suasana begini malah menangis.''
   ''Aku sangat senang,'' Senyum Rica.
   ''Kalau kamu senang seharusnya kamu loncat loncat atau mungkin teriak sekeras mungkin. Cepat lap air mata mu itu. Baru kali ini aku melihatmu cengeng kaya gitu.'' gurau Ronald.
   ''Aku senang, aku senang. Aku senang! Jika aku sukses nanti aku gak akan pernah melupakan orang orang yang ada disisi ku.'' teriak keras Rica.
   ''Nah, itu baru benar. Jika kamu sukses nanti jangan pernah lupakan aku. Ingat itu.'' jawab Ronald.


Jam sudah menunjukkan pukul lima sore hari. Suasana klinik masih terlihat sangat ramai. Penuh pasien. Seorang dokter wanita sedang sibuk membalut perban seorang pasien anak kecil yang tanganya lecet karena terjatuh dari sepeda. Biasanya klinik sudah tutup pada jam lima sore. Pasien terus bertambah saja. Rencana untuk menutup klinik terpaksa harus ditunda.


   ''Bu, aku mau ngomong dengan Ibu.'' seru seorang wanita remaja yang merupakan anak dari dokter yang sedang membalut perban anak kecil itu.
   ''Ibu sedang sibuk. Apa gak bisa di tunda?'' tanyanya sambil menoleh sebentar.
Wanita remaja itu sekilas memandang sekeliling. Pasien dimana mana, menunggu untuk segera diobati. Namun sayang, pertanyaan yang ingin dilontarkan malah bertentangan dengan suasana saat itu. Nama wanita remaja itu Alissa Galliamova, umurnya sembilan belas tahun. Setelah lulus dari Sma, Mova sering sekali membantu Ibunya bekerja di klinik. Walau hanya lulusan Sma, kemampuan Mova dalam membantu mengobati orang sakit sangat bisa dipercaya. Saat Sma, Ibunya sering mengajarkan teknik teknik dasar pertolongan darurat pada Mova.

Saat itu Mova ingin sekali pulang karena kelelahan, tapi keinginannya dikalahkan oleh rasa kasihan dan akhirnya Mova kembali melayani para pasien.

Mova menghampiri seorang pasien pria lanjut usia yang sedang duduk di kursi lobby.
   ''Selamat sore. Apa ada yang bisa saya bantu, pak? Bapak bisa sampaikan padaku keluhan yang bapak rasakan.'' senyum Mova.
   ''Adek seorang dokter?'' ucap ragu bapak itu.
Memang tak mudah rasanya mempercayai seorang remaja yang masih sangat muda seperti Mova. Pengalamanya pun pasti tidak banyak.
   ''Lebih tepatnya mungkin aku ini seorang asisten dari dokter yang ada disana.'' jawab Mova sambil menoleh ke arah Ibunya.
   ''Dia juga adalah Ibuku.'' tambah Mova.
   ''Diusia bapak yang sudah setua ini bapak gak mengharapkan banyak cara pengobatan. Bapak hanya ingin mendengar solusi tentang penyakit bapak ini.'' Pasrah bapak itu.
   ''apa bapak bisa jelaskan secara detail tentang penyakit bapak itu?''
   ''Bapak sering sekali pingsan dikarenakan serangan jantung. Tentu gak mudah mengobati penyakit ku ini dan pasti mengeluarkan banyak biaya. Tapi bapak hanya ingin mendengar solusi dari penyakit bapak ini agar dampak yang ditimbulkan berkurang. Apa kamu tau?'' tanya bapak itu.

Mova tersenyum sejenak. Tiba tiba tanpa perintah apapun Mova langsung merebahkan kerah bapak itu.
   ''Kalau bapak mempunyai penyakit jantung hindarkankah memakai pakaian yang ketat seperti ini. Pada saat malam hari pakailah selimut yang tebal. Apa bapak mempunyai seorang anak atau cucu?'' Tanya Mova.
   ''Iya, bapak punya seorang cucu berusia lima belas tahun dirumah.''
   ''Syukurlah. Bilanglah pada cucu bapak kalau kalau bapak tiba tiba pingsan, segeralah menelepon ambulan untuk dibawa ke rumah sakit. Biasanya penderita penyakit ini sering sekali alami pingsan secara tiba tiba. Itu disebabkan pembuluh nadi jantung bapak kemungkinan telah tersumbat. Kalau bapak sulit bernafas itu merupakan hal yang paling fatal. Satu satunya cara adalah memberinya nafas buatan.'' ucap Mova dengan rasa percaya dirinya.
   ''Bapak masih belum mengerti. Apa kamu tau kenapa seseorang menjadi susah bernafas atau mungkin mendapat serangan jantung?'' tanya penasaran bapak itu.
   ''Penyakit ini dinamakan koronariasis. Disebabkan gak beresnya peredaran darah sehingga mengganggu kerja pemompaan jantung. Katup serta otot penggerak jantung menjadi gak berfungsi lagi. Selain penyempitan pembuluh nadi, penyumbatan pada pembuluh nadi pun akan menimbulkan rasa nyeri yang hebat di dada, bahkan bisa menyebabkan penderita menjadi shock, sukar bernafas. pada tahap ini penderita meresa seakan akan sudah akan putus nyawa. Maka selain kondisi physik, kondisi physis penderita pun memerlukan perhatian semaksimal mungkin.''

Bapak itu hanya bisa manggut manggut kagum mendengarkan penjelasan Mova dengan sangat detail. Ibunya yang berada tidak jauh pun melihat dan merasa bangga padanya. Ternyata tidak sia sia ibunya mengajarkan keahliannya pada anaknya. Setelah menjelaskan panjang lebar, Mova segera mengambil segelas teh hangat untuk diberikan pada bapak dan pasien lainnya yang sedang menunggu.

***

Melo dan Ve baru saja selesai mengunjungi apartemen Dhike. Mereka berdua berjalan kedepan sampai dipintu gerbang keluar apartemen. Biasanya dari pintu gerbang apartemen Ve naik taksi, sedangkan Melo menaiki angkutan umum. Arah jalan mereka pulang saling bertolakan. Setelah mereka berdua tiba dipintu gerbang apartemen, sebuah kertas brosur melayang tertiup angin dan menyentuh tubuh Ve. Sekilas Ve menghiraukannya brosur tersebut. Namun, brosur itu mampu menghipnotis Ve hingga akhirnya Ve ingin melihatnya. Yang membuat Ve tertarik ingin melihatnya adalah di brosur itu terdapat sebuah foto yang tercetak mulus, bening. Diambilnya kembali brosur yang tergeletak di aspal dan dipandanginya sejenak. Butuh waktu beberapa detik untuk memahami apa yang dilihat Ve dalam brosur itu. ve masih tidak percaya dengan isi brosur itu. Kemudian dibacanya kembali hingga tak ada satu katapun yang terlewat. Setelah memahami betul isi brosur tersebut, spontan Ve kaget.

   ''Mel! Mel! Sini coba lihat!'' terak Ve.
   ''Kenapa pake teriak? Memangnya kenapa? Itu kan brosur.''
   ''Iya, aku tau ini brosur. Tapi lihat isinya, Mel. Ada cover lengkap AKB48 disini.''
   ''Masa sih? Coba aku lihat.''

Melody segera membaca isi brosur tersebut. Dan ternyata, ekspresi Melo sungguh mengecewakan bagi Ve. reaksinya biasa biasa saja. Tidak seperti Ve yang begitu antusias.
''Rasa penasaranku akhirnya terjawab juga. Jadi ini tujuan Takamina datang ke sini dua hari yang lalu. Dia meresmikan pembukaan audisi tahap awal sisternya yang berada di luar Jepang. Indonesia beruntung sekali.'' ucap Melo.
   ''ish, apa hanya itu ekspresi yang kamu punya?'' tanya Ve sambil mengamati wajah Melo.
Ekspresi Melo masih sama. ''Lalu, ekspresi ku harus bagaimana? Kaget?''
   ''Tentu saja.'' jawab singkat Ve.
   ''Ah, hanya orang orang yang berbakat saja dalam bidang ini yang sangat beruntung. Ini sungguh kejadian yang sangat langka.''
   ''Itu adalah kita!'' teriak Ve antusias.
   ''Apa maksud kamu?'' heran Melody.
   ''Kita harus ikut dalam audisi itu. Bagaimana pun caranya. Kamu benar, Mel. Ini adalah kejadian yang sangat langka. Kesempatan gak boleh di sia sia kan, justru kita harus memanfaatkan situasi kaya gini.''
   ''Kamu bercanda? Atau mungkin sungguh sungguh?''
   ''Aku serius. Apa salahnya dicoba. Kita membicarakan tentang ke hoki an.''
Ve kembali membaca brosur tersebut, ''Jadi, masih ada waktu satu minggu sebelum audisi dimulai. Kita bisa lakukan latihan dasar untuk menyambutnya. Aku punya ide! Murid baru itu, Stella. Kita jadikan dia sebagai guru kita. Dia cukup terampil dalam menari. Keahliannya sudah gak diragukan lagi.''
   ''Kita? Kamu aja ah Ve. Aku gak ikut ikut. Aku itu sungguh kaku dalam hal menari. Sudah ah, tuh ada taksi. Cepat pulang sana.''
   ''Kamu ini bagaimana, pokoknya kamu harus pikirkan baik baik tentang ucapanku mengenai audisi itu. Aku tunggu jawabanya besok di sekolah. Pokoknya harus!'' bujuk Ve.

Percakapan mereka segera diakhiri. Ve berjalan masuk ke dalam taksi.
   ''Tawaranmu sungguh aneh buatku. Dia begitu semangat sekali mengenai audisi itu.'' ucap Melo sambil memandang Ve dari kejauhan.



Hujan turun sudah dua jam lamanya, makin lama makin deras. Langit kota Jakarta begitu tidak mendukung bagi sebagian orang yang masih melakukan kegiatan diluar ruangan. Sekarang sudah lewat jam sembilan malam. Air hujan yang jatuh ke bumi begitu deras dan membuat pandangan mata kedepan menjadi buram, tertutup oleh kucuran air hujan. Kilat serta suara petir tidak ada habisnya mendampingi malam ini. Angin yang begitu kencang membuat sebagian batang daun terlepas dari pohonnya. Jalanan yang semula bersih menjadi berantakan, daun daun berserakan dimana mana. Jika kita menaruh ember di tengah tengah kucuran air hujan, ember itu akan penuh dalam hitungan detik saja.

Sebuah taksi berhenti didepan sebuah hotel ternama di Jakarta. Keluarlah wanita berjaket tebal, memakai kacamata hitam dan juga topi dari dalam taksi. Kalau kita amati, sepertinya wanita itu tidak ingin keberadaan identitasnya diketahui orang. Wanita itu segera masuk ke dalam lift hotel tersebut. Penyamarannya memang begitu sempurna. Apalagi saat itu sudah malam dan badai pun ikut mendampinginya. Tentu suasana seperti itu sungguh menguntungkan, dimana semua orang pasti jarang berkeliaran di cuaca yang buruk seperti saat ini. Setelah menemukan kamar hotel yang cocok dan menjadi tujuannya, wanita itu kemudian mengetuk pintu kamar hotel. Tidak lama kemudian, seorang pria menyambut kedatangannya. Umur pria tersebut kira kira empat puluh tahunan.

   ''Anda sudah datang rupanya. Masuklah!''
Wanita itu menggangguk. Setelah dirinya merasa aman berada didalam kamar hotel, ia segera melepas kacamata dan juga topinya. Sekarang wajahnya begitu kelihatan sosok aslinya, tidak asing lagi. Wanita itu ternyata Sendy.

   ''Duduklah!'' seru pria itu.
Mereka berdua saling duduk berhadapan. Jarak mereka tidak terlalu jauh, hanya terhalangi meja saja.
   ''Jadi, namamu Sendy?''
   ''Benar.''
   ''Aku mengagumi cara kerjamu yang begitu simpel namun terbidik dengan sangat tepat. Anda berhasil mengungkapkan kasus yang ditangani oleh Ayahmu sendiri. Bahkan orang dalam yang berpengalaman pun tak bisa menanganinya.''
Pria itu bertepuk tangan kagum. ''Usiamu masih sangat muda tetapi keahlianmu tak beda jauh dengan seorang detektif.''
   ''Aku gak suka dibanding bandingkan dengan yang lain. Diriku adalah diriku. Keahlianku adalah keahlianku.'' balas Sendy dengan tatapan sinis.
Pria itu spontan tertawa mendengarnya. ''Kelakuanmu tak berbeda jauh dengan Ayahmu. Sangat dingin. Aku dengar, Ayahmu kesulitan menangani kasus pembunuhan yang sudah terjadi tiga bulan yang lalu.''
   ''Itu bukan urusanku.'' jawab singkat Sendy.
   ''Aku dan Ayahmu itu sudah berteman cukup lama. Biasanya, jika ada kasus yang ingin aku ungkapkan aku selalu meminta bantuan dari ayahmu. Selama ini, Ayahmu belum pernah mengecewakanku. Tetapi...''
   ''Langsung ke inti ceritanya saja.'' potong Sendy.

Pria itu kembali tertawa. Sikap Sendy terhadapnya memang bisa dibilang sinis. Tapi, pria itu tidak mempermasalahkannya. Hanya merasa lucu dengan sikap Sendy yang merasa pangkat dan kedudukannya lebih tinggi dari pria itu. Apabila Sendy bersikap jutek rasanya tidak sopan. Mau diapakan lagi, sejak lahir sifat Sendy memang seperti itu.

   ''Baiklah, langsung pada inti cerita saja.''
Kemudian pria itu mengambil foto yang berada dilemari sebelah tempat duduknya. Pria itu memperlihatkan foto yang dipegang nya pada Sendy. Sendy langsung mengamatinya.
   ''Yang anda lihat itu adalah foto seorang anak yang Ayahnya berhutang sebanyak 1,3 miliar padaku. Sebenarnya, dua tahun yang lalu aku sudah melupakan kasus ini.
''Orang itu sudah lama menjadi punggung bagi perusahaan kami sejak lima tahun yang lalu. Namun, tiba tiba saja saat itu dia meminjam uang sebanyak 1,3 miliar padaku. Bukankah sangat lucu seorang pimpinan direktur meminjam uang padaku. Padahal perusahaanya sudah seperti punggung bagi perusahaan kami. Sudah lama kami saling bekerja sama.'' tambah pria itu.
   ''Sejak kapan orang itu menghilang?'' tanya Sendy.
   ''Sudah tiga tahun yang lalu.''
Sendy berfikir. ''Kejadianya sudah cukup lama. Apa setelah meminjam uang lantas orang tersebut menghilang?''
   ''Benar, setelah ku berikan uangnya tiba tiba saja pria itu menghilang tanpa jejak. Sampai saat ini pun aku masih belum bisa menemukannya.''

Setelah meminjam uang pria itu menghilang? Pasti telah terjadi sesuatu. Benar apa yang dikatakan orang ini. Sebagai orang penting bagi perusahaanya pasti sungguh aneh jika tiba tiba saja meminjam uang darinya.
Ucap kata hati Sendy sambil memikirkan baik baik.

   ''Apa saat meminjam, perusahaan orang itu sedang dilanda kesulitan?''
   ''Tidak. Perusahaanya berjalan seperti biasanya, normal.''
   ''Sudah bisa sedikit ku simpulkan bahwa orang itu meminjam bukan karena krisis dana perusahaan. Tetapi ada hal yang lain. Aku harus cari bukti yang lainya.''

Sendy kembali mengamati wajah foto yang dipegangnya. ''Beritahu aku apa yang anda ketahui tentang identitas anak ini.'' tanya Sendy. Pandangan Sendy masih tertuju pada foto yang dipegangnya.
   ''Dia tinggal disebuah apartemen mewah ditengah kota bersama dengan Ibunya. Aku masih belum tahu namanya, tapi aku tahu betul alamat tempat tinggal mereka.''
   ''Boleh aku tahu bagaimana anda bisa dapat foto anak ini?'' tanya Sendy heran.
   ''Sebelum meminjam uang, lebih tepatnya tiga tahun yang lalu, orang itu tiba tiba saja memperlihatkan wajah anaknya. Dia bilang, dia begitu bahagia memiliki anak yang sangat cantik, baik dan sangat patuh terhadapnya. Tentu tidak aneh jika orang tua memperkenalkan anaknya padaku. Tetapi ada hal yang tidak kupahami, kenapa setelah memperkenalkan lantas tiba tiba saja dia menghilang begitu saja.''
   ''Lalu, kenapa tiba tiba saja anda ingin menggangkat kasus ini kembali? Bukankah anda pernah berencana ingin melupakannya?''
   ''Bisnis garmen ku akhir akhir ini sedang menurun. Aku sedang membutuhkan biaya untuk bisa menstabilkan kembali perusahaan ku. Walau hanya 1,3 miliar saja, tetapi dengan uang segitu aku mampu menutupi kesulitan bisnis ku itu. Maka dari itu aku ingin menemukan orang ini. Kalau anda berhasil mengungkapkan dan berhasil membawa uangku, akan aku berikan anda jatah 10 persen.''
Sendy tertawa sinis mendengarnya. ''10 persen? Aku mau anda memberikan ku jatah sebesar 20 persen.''
Pria itu balik tertawa. ''Rupanya anda terlihat sangat percaya diri untuk bisa menuntaskan kasus ini. Baiklah. Aku setuju.''

Sungguh menarik, walau umurnya masih sangat muda tetapi dia sungguh cekatan dalam menyaring kasus. Bahkan, dia bertanya mengapa aku mau mengangkat kasus ini kembali. Biasanya, seorang detektif pun tidak akan mencampuri urusan yang bukan perintah dari atasannya. Tugasnya hanya mengungkapkan apa yang diperintah oleh atasan. Tidak salah lagi, anak ini benar benar anak dari jaksa yang ku kenal. Kelakuan mereka tidak jauh berbeda. Aku memang sudah tepat memilihnya.
Ucap kata isi hati pria itu sambil memandang serius Sendy.

   ''Berikan alamat tempat tinggal anak ini. Aku akan mulai menyelidiki latar belakang keluarganya.'' Ucap Sendy.
   ''Baiklah.''
Pria itu menulis alamat di selembar kertas dan memberikannya pada Sendy. ''Aku mohon kerja samanya.''
Sendy mengangguk.
   ''Maaf, aku lupa menyiapkan suguhan untukmu. Anda mau minum apa? Apa teh hangat? Hujan hujan begini sangat cocok jika kita meminum teh hangat.''
   ''Gak usah. Ini sudah malam. Jika ada hal yang mencurigakan aku akan langsung menghubungi mu. Aku permisi dulu.''
   ''oh, silahkan. Hati hati dijalan.''

Sendy kembali memakaikan topi dan kacamata. Setelah itu berjalan keluar kamar hotel.

***

   Ayu duduk di kasur kamarnya memandangi foto saat bersama Ayahnya yang terpajang dimeja belajar. Kediamannya sungguh sepi, tak tampak orang orang disekitarnya. Ibunya yang bekerja belum juga pulang. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hujan masih belum kunjung reda. Tiba tiba percikan kilat nampak beserta suara petir yang sangat dahsyat. Petir tadi menyebabkan seluruh listrik disetiap kamar apartemen padam. Ayu kaget serta panik. Hal yang paling ditakutinya adalah kegelapan.

Suasana kamar otomatis menjadi hitam pekat, gelap. Ayu meraba raba kasurnya menemukan ponselnya. Wajahnya menjadi sangat pucat. Jantungnya berdetak sangat kencang. Ayu terus meraba, namun tidak juga menemukan ponselnya. Ayu menjadi sangat ketakutan. Ia menarik selimut dikasurnya, dililitkannya selimut itu ke tubuhnya. Kemudian, ayu berjalan ke pojokan ruangan sambil meraba dinding sebagai penuntunnya. Tubuhnya gemetaran, penuh keringat. Hujan semakin deras saja, anginnya sungguh kencang. Ayu jongkok dipojokan ga karuan. Ketakutannya semakin menjadi jadi. Ia mempererat lilitan selimut ditubuhnya. Kedua tangannya menggenggam kuat selimut.

Lagi lagi cahaya kilat datang. Suara petirnya sungguh besar, sampai sampai membuat lantai apartemen bergetar.

Ayu berteriak ketakutan, memanggil manggil nama Ibunya. Terus berteriak. Tidak ada yang mendengarkan, tidak ada yang memperdulikannya. Yang ada hanya aura aura kesedihan, kesepian serta kesengsaraan.
Ayu kembali berteriak.
   ''Ibu!''
Rasa ketakutannya sudah tidak bisa dikendalikan. Ayu menangis keras. Tanpa sadar selimut yang digengam kuat itu sampai robek. Tidak ada hentinya ayu berteriak sembil menangis kencang.


Sebaliknya, setelah hantaman suara petir yang sangat kuat membuat Dhike terbangun dari tidurnya dikamarnya. Tidak ada yang bisa dilihat Dhike. Ruangan kamarnya begitu gelap. Dhike melamun sebentar, kemudian ia berfikir sejenak. Suasananya begitu menyeramkan. Hujan deras disertai suara petir yang sangat besar. Suasana seperti ini sungguh ditakuti Ayu. Setelah mengingat nama Ayu, spontan Dhike bangkit dari kasurnya. Respon Dhike yang bangkit tiba tiba membuatnya sakit kepala, merasa sangat pusing. Dhike menjadi sempoyongan. Kepalanya sakit seperti tertusuk tusuk benda tajam. Niatnya mendatangi kediaman Ayu terpaksa dibatalkannya.
   ''Maafkan aku, Ayu...''

Dhike terdiam dikasurnya, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk Ayu. Dikepalanya hanya terus mengkhawatirkan Ayu. Apalagi Ayu masih kecil. Wajar di usianya itu Ayu butuh seseorang untuk menemaninya di saat seperti ini.

''Disaat Ayu membutuhkan ku, aku selalu gak ada untuknya. Sedangkan Ayu, dia begitu baik dan perhatian padaku. Aku sungguh minta maaf, Yu.'' Dhike kesal campur kecewa karena tidak bisa menemani Ayu.



BERSAMBUNG...